Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Euthanasia untuk Penderita Gangguan Mental: Ketika Hidup Tak Lagi Layak?

16 Maret 2025   01:17 Diperbarui: 16 Maret 2025   08:26 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi euthanasia (sumber: pixabay/digicomphoto)

Di sisi lain, ada kisah Zo, juga dari Belanda, yang setelah bertahun-tahun berjuang dengan trauma masa kecil dan keinginan untuk mati, akhirnya membatalkan euthanasianya di saat terakhir. 

Keputusannya menunjukkan bahwa pikiran manusia bisa berubah, dan bahwa terkadang, yang dibutuhkan bukanlah hak untuk mati, melainkan lebih banyak alasan untuk hidup.

Dosa Terbesar atau Hak Individu?

Dalam semua agama, bunuh diri adalah dosa besar. Kehidupan adalah hak prerogatif Tuhan, dan manusia tidak boleh mengakhirinya dengan alasan apa pun. Namun, di sisi lain, kita juga diajarkan untuk mengasihi dan tidak menghakimi mereka yang sedang berjuang.

Faktanya, gangguan mental berat bisa lebih menyiksa daripada penyakit fisik. Depresi mayor bisa membuat seseorang merasa seperti mati dalam keadaan hidup. Skizofrenia bisa mengubah realitas seseorang menjadi neraka yang penuh suara-suara menghakimi. Gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder) bisa menyebabkan penderitaan emosional ekstrem yang konstan.

Pertanyaannya, jika seseorang sudah mencoba setiap bentuk terapi, obat, hingga rehabilitasi, tetapi tetap merasa hidupnya tak tertahankan, apakah kita masih bisa memaksa mereka untuk bertahan hanya karena "hidup itu berharga"?

Di Belgia, seorang pria bernama Nathan Verhelst menjalani euthanasia pada 2013 setelah mengalami depresi berat akibat operasi pergantian kelamin yang gagal. Dalam surat perpisahannya, ia menulis bahwa ia merasa seperti "monster gagal" dan tidak bisa menerima dirinya sendiri. Dokternya menyetujui permohonannya karena ia dianggap mengalami "penderitaan psikologis yang tak tertahankan."

Kasus-kasus ini mengingatkan kita bahwa tak semua luka bisa dilihat dengan mata, dan tak semua penderitaan bisa disembuhkan dengan terapi standar. Namun, apakah memberikan izin mati adalah solusi yang benar?

Jika Hidup Tak Bisa Dihindari, Harusnya Bisa Dijalani

Jika ada yang bisa disepakati dari perdebatan ini, itu adalah bahwa tidak ada jawaban sederhana. Namun, sebelum mempertimbangkan euthanasia, kita harus bertanya: sudahkah sistem kesehatan mental benar-benar berfungsi?

Data menunjukkan bahwa 90% orang yang bunuh diri memiliki gangguan mental, tetapi banyak dari mereka tidak mendapatkan akses pengobatan yang cukup. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun