Di banyak budaya, hidup dianggap sebagai anugerah yang harus dipertahankan, bagaimanapun keadaannya. Namun, di beberapa negara seperti Belanda, Belgia, dan Swiss, ada celah hukum yang memungkinkan seseorang untuk memilih mengakhiri hidupnya secara legal melalui euthanasia, bahkan bagi mereka yang tidak memiliki penyakit fisik terminal, tetapi menderita gangguan mental berat.
Topik ini tak hanya kontroversial, tetapi juga mengusik nilai-nilai moral dan kemanusiaan kita. Jika penderita kanker stadium akhir diberi hak untuk mengakhiri penderitaan mereka, apakah hal yang sama juga berlaku bagi seseorang yang telah bertahun-tahun berjuang melawan depresi kronis, skizofrenia, atau gangguan bipolar yang tak kunjung membaik?
Ataukah ini justru bentuk kegagalan sistem kesehatan yang seharusnya melindungi mereka?
Antara Hak untuk Mati dan Kegagalan Sistem
Dalam sistem hukum dan moral banyak negara, euthanasia masih dianggap tabu. Di Indonesia, misalnya, praktik ini dikategorikan sebagai pembunuhan dan dapat dijerat pidana.
Namun, di Belanda dan Belgia, seseorang yang menderita "penderitaan psikologis tak tertahankan" dapat mengajukan permohonan euthanasia, dengan catatan telah melalui berbagai prosedur medis yang ketat.
Di sinilah perdebatan terjadi. Apakah penderitaan mental bisa diukur dengan standar yang sama seperti penderitaan fisik? Sebab, berbeda dengan kanker atau penyakit degeneratif yang memiliki progresi jelas, gangguan mental sering kali bersifat naik turun.
Hari ini seseorang bisa merasa hidupnya tak ada harapan, tetapi besok atau setahun kemudian, mereka mungkin menemukan alasan baru untuk bertahan.
Kasus seperti Zoraya ter Beek, seorang wanita Belanda yang menderita depresi kronis dan gangguan kecemasan selama lebih dari satu dekade, menyoroti betapa kompleksnya persoalan ini.
Setelah berbagai terapi gagal, ia akhirnya mendapat persetujuan euthanasia pada 2024, mengundang gelombang kritik dari berbagai pihak. Apakah benar tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain membantunya mengakhiri hidup? Ataukah sistem kesehatan Belanda terlalu cepat menyerah?