Pernah tidak Anda mendengar anak kecil dengan percaya diri berkata, "Aku suka diriku!"? Sepintas terdengar lucu dan menggemaskan, tetapi di balik itu, ada sesuatu yang seharusnya kita renungkan. Anak-anak, dengan segala kepolosannya, sebenarnya adalah cerminan dari lingkungan tempat mereka tumbuh. Jika mereka bisa menyayangi diri sendiri, besar kemungkinan ada peran orang tua yang memahami pentingnya konsep self-love. Namun, apakah kita mengajarkannya dengan cara yang benar?
Self-love sering kali menjadi jargon populer di media sosial. Dari kalimat manis seperti "love yourself first" hingga seruan tegas, "jangan pedulikan omongan orang!" Tetapi ketika konsep ini diterapkan pada anak-anak, persoalannya menjadi lebih kompleks. Bagaimana caranya menumbuhkan rasa percaya diri pada mereka tanpa membuat mereka tumbuh menjadi pribadi yang manja, lemah, dan mudah menyerah?
Self-Love: Dimulai dari Rumah
Anak-anak adalah spons. Mereka menyerap apa saja yang ada di sekitar mereka, kata-kata, sikap, hingga nada suara. Jika orang tua sering mengatakan, "Kamu tidak bisa!" atau "Lihat tuh, si A lebih pintar dari kamu," jangan heran jika anak tumbuh dengan rasa minder yang mengakar. Sebaliknya, pujian yang berlebihan seperti, "Kamu yang terbaik!" tanpa diimbangi kritik membangun bisa membuat mereka merasa dunia selalu berpihak pada mereka.
Self-love tidak dimulai dari poster motivasi di kamar atau afirmasi berlebihan, tetapi dari lingkungan keluarga yang sehat. Anak harus diajarkan bahwa mencintai diri sendiri bukan berarti memanjakan diri, melainkan menerima kelebihan dan kekurangan dengan lapang dada.
Misalnya, saat anak mendapatkan nilai buruk, alih-alih langsung memarahi atau mencari kambing hitam, tanyakan, "Menurut kamu, apa yang bisa kita perbaiki bersama?" Dengan begitu, anak belajar bahwa kesalahan bukan akhir dunia, melainkan kesempatan untuk tumbuh.
Self-Love Tanpa Melupakan Tanggung Jawab
Namun, mari kita bahas bagian yang sering diabaikan: batasan antara self-love dan tanggung jawab. Mengajarkan anak untuk mencintai diri sendiri bukan berarti membiarkan mereka tumbuh menjadi pribadi yang selalu mencari alasan untuk menyerah. Dunia tidak peduli seberapa lembut perasaan kita; dunia meminta kita tangguh.
Jika anak terlalu sering diberi perlakuan istimewa atas nama self-love, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang mudah kecewa ketika hidup tidak berjalan sesuai keinginan. Sebagai contoh, ketika anak protes karena tugas sekolah terlalu sulit, jangan langsung berkata, "Tidak apa-apa, Nak, biarkan saja." Sebaliknya, beri mereka dorongan untuk mencoba lagi, bahkan jika mereka gagal. Katakan, "Kesalahan itu biasa, yang penting kamu sudah berusaha."
Mengajarkan tanggung jawab adalah bagian penting dari self-love. Anak yang mencintai dirinya sendiri tahu kapan harus beristirahat, tetapi mereka juga tahu kapan harus bekerja keras untuk mencapai sesuatu. Ini tentang keseimbangan, bukan permisivitas.