Kapan digitalisasi mulai menjadi solusi?
Jawabannya adalah sekarang. Ketika inflasi mengancam daya beli, diskon dan promo yang hanya tersedia di platform digital menjadi penyelamat banyak rumah tangga.
Kadang manusia butuh tertawa di tengah tekanan hidup. Bayangkan jika tetangga Anda, si tukang sayur, mendadak viral karena gaya promonya mirip content creator di Instagram. Mendadak, dia bukan hanya menjual sayur, tapi juga "engagement."
Bagaimana kita bisa beradaptasi?Â
Dengan membuka pikiran terhadap teknologi. Berhenti mengatakan "saya gaptek" dan mulai belajar.
Antara Peluang dan Tantangan
Namun, tak semua sisi digitalisasi seindah iklan aplikasi dompet digital. Ada tantangan besar: literasi digital. Di Indonesia, hanya sekitar 40% penduduk yang benar-benar melek digital. Ini menjelaskan mengapa sebagian masyarakat masih tergoda dengan penipuan online atau hoaks yang beredar di media sosial.
Bayangkan jika semua orang memahami potensi teknologi. Tukang bakso pinggir jalan bisa punya aplikasi pre-order. Petani bisa langsung menjual hasil panen ke konsumen lewat platform digital, memotong jalur distribusi panjang. Bahkan Anda, sebagai konsumen, bisa belanja hemat dengan memanfaatkan promo dari aplikasi belanja.
Saat Tukang Sayur Jadi Influencer
Tapi, mari berhenti sejenak untuk merenung. Seperti apa masa depan jika semua orang beralih ke digital? Apakah mungkin suatu hari tukang sayur di kompleks Anda menjadi influencer dengan jutaan pengikut? "Ayo, ibu-ibu, beli bayam ini, segar, seperti cinta pertama Anda!" Sementara kita tertawa membayangkan ini, kenyataannya, peluang ini memang ada.
Namun, jangan lupa, digitalisasi tanpa kesetaraan hanya menciptakan jurang. Apa gunanya aplikasi canggih jika sinyal internet di desa masih sebatas angan? Apa manfaat promo online jika literasi digital rendah?