Sebelum kita berharap orang lain memahami trauma kita, kita perlu memahaminya terlebih dahulu.
Tanyakan pada diri sendiri: Mengapa keputusan ini terasa begitu penting bagi saya? Apa yang sebenarnya saya takutkan?
Identifikasi pemicu: Trauma sering muncul karena pemicu tertentu, seperti nada bicara yang meremehkan atau keputusan yang tiba-tiba. Mengenali ini membantu Anda merespons dengan lebih bijak.
"Kalau trauma Anda punya nama, apa nama yang pas? Mungkin 'Si Sensitif yang Diam-diam Galak.'"
Komunikasikan dengan Cara yang Tepat
Ketika orang terdekat tidak melibatkan Anda, respons awal yang muncul biasanya emosi: marah, kecewa, atau diam. Namun, reaksi emosional sering kali malah membuat mereka defensif. Jadi, bagaimana cara menyampaikan perasaan dengan cara yang produktif?
Gunakan "Saya" daripada "Kamu."
Misalnya: "Saya merasa tidak dihargai ketika keputusan ini dibuat tanpa melibatkan saya," daripada "Kamu selalu bikin keputusan tanpa peduli perasaan saya."
Jelaskan konteks trauma Anda. Tidak perlu terlalu detail, tetapi cukup untuk memberi gambaran bahwa keputusan kecil bagi mereka mungkin memiliki dampak besar bagi Anda.
Tetapkan Batasan yang Sehat
Jika orang terdekat terus mengabaikan pendapat Anda, mungkin saatnya menetapkan batasan. Ini bukan berarti memutus hubungan, tetapi memberi ruang bagi Anda untuk melindungi diri sendiri.
Jelaskan batasan Anda dengan tegas tetapi lembut.
Contoh: "Kalau ada keputusan yang menyangkut saya, tolong beri saya kesempatan untuk berpendapat."