Pernahkah Anda belanja online tengah malam hanya karena bosan, atau menahan investasi karena takut "nanti rugi"? Selamat, Anda manusia biasa.Â
Keuangan kita sering kali seperti komidi putar yang dikendalikan emosi: ketakutan, keserakahan, bahkan optimisme.Â
Dalam teori, keuangan adalah permainan logika, tetapi dalam praktik, emosi kerap jadi sutradara utama. Dan di sini letak masalahnya.
Mari kita mulai dengan ketakutan. Ibarat seorang penjaga gawang yang terlalu fokus menghindari gol, ketakutan sering membuat kita terlalu defensif.Â
Ketika pasar saham menurun, banyak investor buru-buru menjual saham mereka, takut kehilangan lebih banyak uang. Padahal, dalam dunia investasi, kepanikan justru sering merugikan.Â
Sebuah studi oleh Dalbar, Inc. menunjukkan bahwa investor rata-rata menghasilkan jauh lebih rendah daripada pasar saham karena keputusan emosional. Ketakutan membuat kita melupakan prinsip dasar investasi: tetap tenang dan berpikir jangka panjang.
Di sisi lain, ada keserakahan, lawan dari ketakutan, tetapi sama berbahayanya. Keserakahan adalah si penggoda manis yang membisikkan, "Beli sekarang, harga pasti naik lagi!" atau "Masukkan semua uangmu, ini kesempatan emas."
Keserakahan ini yang sering mendorong fenomena bubble ekonomi. Ingat gelembung dot-com tahun 2000-an? Orang-orang berbondong-bondong membeli saham teknologi tanpa benar-benar memahami apa yang mereka beli, hanya karena mereka tidak ingin "ketinggalan kereta."Â
Ketika gelembung pecah, kerugian besar tak terhindarkan. Keserakahan adalah api yang membakar akal sehat kita hingga habis.
Namun, optimisme juga tak selalu baik. Bayangkan Anda sedang berkendara di jalan berliku dan tiba-tiba merasa, "Ah, saya pasti bisa melaju lebih cepat, jalanan aman." Optimisme berlebihan seperti ini bisa membuat kita mengabaikan risiko.Â