Ada yang bilang, "Kamu tak bisa mengubah dunia, tapi kamu bisa mengubah dunia satu makhluk hidup pada satu waktu." Ungkapan ini menggambarkan betul bagaimana para relawan rumah foster hewan terlantar menjalani hidup mereka.Â
Mereka bukan hanya memberikan atap sementara bagi kucing dan anjing yang ditelantarkan, tetapi juga menawarkan secuil harapan untuk dunia yang lebih manusiawi. Mari kita bedah fenomena ini dari kacamata kemanusiaan, logika, dan, tentu saja, ironi sosial.
Ketika Carolina Fajar dan Jeanne Karmila mendirikan komunitas Let's Adopt Indonesia pada 2011, mereka mungkin tidak membayangkan bahwa misi sederhana menyelamatkan seekor anjing yang minum air selokan akan membawa mereka ke perjalanan panjang ini.Â
Dengan empati yang jarang kita temui di dunia penuh deadline dan utang cicilan ini, mereka membangun jaringan relawan untuk menampung hewan-hewan terlantar. Hingga kini, komunitas tersebut telah membantu ratusan hewan menemukan keluarga baru.
Mengapa ada begitu banyak hewan terlantar di jalanan? Jawabannya sederhana, tapi ironis: manusia.Â
Entah karena alasan ekonomi, kebosanan, atau ketidaktahuan, banyak orang membuang hewan peliharaan mereka seperti membuang botol plastik. Namun, tidak seperti plastik yang membutuhkan ratusan tahun untuk terurai, hewan-hewan ini hanya butuh hitungan minggu untuk menyerah pada kelaparan atau penyakit.
Kisah Seekor Kucing dan Sebuah Rumah
Mari kita lihat kisah Timo, seekor kucing berusia tiga bulan yang ditemukan seorang relawan dalam kondisi dehidrasi parah. Dalam hitungan hari, Timo dipindahkan ke rumah foster. Di sana, dia mendapat perawatan intensif dan, lebih penting lagi, cinta kasih yang ia butuhkan.Â
Tidak ada penghakiman, tidak ada tuntutan; hanya tangan yang sabar dan lembut yang menyuapi susu formula. Kisah ini mengajarkan satu hal sederhana: ketika dunia terasa gelap, uluran tangan kecil bisa menjadi lilin yang menerangi jalan.
Namun, di balik kehangatan kisah ini, ada tekanan mental yang dirasakan para foster parent. Mereka menghadapi dilema klasik: terlalu terikat dengan hewan yang dirawat, tetapi tahu bahwa suatu saat harus melepaskannya untuk diadopsi.Â
Banyak dari mereka mengalami "foster blues," kondisi emosional yang serupa dengan kehilangan. Ini menjadi pengingat bahwa empati yang berlebihan, meskipun mulia, dapat menjadi pedang bermata dua.