Ada kisah seorang ibu muda bernama Santi (nama samaran) yang kerap mendengar bisikan di telinganya. Bisikan itu, katanya, terdengar seperti suara pria tua dengan nada yang dingin dan mengancam.Â
Awalnya ia berpikir ini hanya efek dari kelelahan, maklum, rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga tidak pernah memberi jeda.
Namun, ketika bisikan itu mulai memintanya melakukan hal-hal aneh, seperti melempar pisau dapur ke suaminya yang sedang tertidur, Santi mulai panik.
Keluarganya terbelah. Sang ibu mertua menyarankan pergi ke paranormal yang terkenal di desa mereka, sedangkan suaminya, seorang pegawai bank yang logis, bersikeras agar Santi menemui psikiater.Â
Santi, dalam kebingungannya, akhirnya memilih keduanya. Ia membawa telur ayam kampung untuk ritual pembersihan energi negatif, dan keesokan harinya duduk di ruang konsultasi psikiater dengan rasa bersalah, takut "roh-roh gaib" akan marah.
Cerita seperti ini bukan hal baru di masyarakat kita. Dalam budaya yang memadukan mistisisme dan sains, orang sering kali dihadapkan pada dilema: ketika bisikan-bisikan misterius menyerbu kepala, siapa yang harus dihubungi lebih dulu, paranormal atau psikiater?
Bisikan gaib atau gangguan medis, sebenarnya apa yang terjadi?
Dalam dunia psikiatri, fenomena seperti yang dialami Santi disebut halusinasi auditori. Hal ini biasa dialami oleh penderita skizofrenia, sebuah gangguan mental kronis yang membuat penderitanya sulit membedakan realitas dari imajinasi.Â
Menurut data dari WHO, skizofrenia memengaruhi sekitar 24 juta orang di dunia, atau sekitar 1 dari 300 populasi global. Meskipun prevalensinya tidak besar, dampaknya bisa sangat merusak kualitas hidup seseorang.
Namun, dalam konteks budaya kita, fenomena ini sering dihubungkan dengan hal-hal mistis. Bisikan dianggap sebagai suara arwah penasaran, jin yang kesal, atau bahkan kutukan dari leluhur.Â