Dalam masyarakat dengan tekanan ekonomi tinggi seperti Indonesia, pendidikan sering dilihat sebagai satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan. Ini menciptakan kebutuhan akan ukuran keberhasilan yang "terlihat" seperti nilai ujian, meskipun pendekatan ini sering kali mengabaikan kemampuan individu dan pengembangan karakter.
Sistem Finlandia juga memprioritaskan keseimbangan hidup siswa. Jam belajar mereka lebih pendek, pekerjaan rumah hampir tidak ada, dan waktu bermain sangat dihargai.Â
Di Indonesia, dengan kurikulum padat dan budaya "bimbel" yang merajalela, keseimbangan ini hampir tidak mungkin dicapai. Contoh yang mencolok adalah siswa di kota besar seperti Jakarta, yang sering menghabiskan waktu lebih banyak di jalan karena macet daripada di kelas.Â
Bagaimana pula kita bisa mengadopsi model Finlandia ketika tekanan sosial dan ekonomi kita memaksa anak-anak belajar di luar batas mereka?
Selain itu, menjadi guru di Finlandia adalah profesi bergengsi dengan proses seleksi yang ketat. Semua guru diwajibkan memiliki gelar master di bidang pendidikan, dan mereka menerima pelatihan berkelanjutan.Â
Di sini, meskipun ada upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas tenaga pengajar melalui program sertifikasi, banyak guru di daerah terpencil masih belum memenuhi standar minimum. Tantangan ini semakin diperparah oleh kurangnya pelatihan pedagogi yang relevan dan insentif yang layak.
Jika Indonesia memaksakan penerapan sistem pendidikan seperti di Finlandia, dengan fokus pada kelonggaran siswa dan mengabaikan kualitas pengajar yang belum setara, beberapa konsekuensi negatif bisa muncul:
1. Kesalahpahaman Implementasi
Sistem pendidikan Finlandia menekankan trust-based autonomy bagi siswa dan guru, yang membutuhkan pendidik berkualitas tinggi dan terlatih untuk mengarahkan proses belajar secara mandiri. Jika kualitas pengajar di Indonesia belum memadai, kelonggaran ini dapat disalahartikan sebagai kebebasan tanpa tanggung jawab, sehingga siswa menjadi kurang terarah.
2. Ketimpangan Pendidikan Meningkat
Indonesia memiliki kesenjangan besar antara daerah perkotaan dan pedesaan dalam hal fasilitas, kualitas guru, dan akses pendidikan. Sistem yang bergantung pada otonomi siswa dan guru justru berpotensi memperparah ketimpangan, karena daerah dengan sumber daya pendidikan terbatas mungkin tidak mampu mengikuti standar yang sama.