Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dermatillomania: Ketika Stress Muncul di Kulit Anda

30 November 2024   21:38 Diperbarui: 30 November 2024   20:47 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Dermatillomania (sumber: Siloam Hospital) 

Pernahkah Anda merasakan dorongan untuk memencet jerawat kecil yang muncul di wajah, meskipun Anda tahu itu hanya akan memperburuk keadaan? 

Bayangkan jika dorongan itu bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak yang sulit dihentikan. Ini bukan sekadar kebiasaan buruk, tetapi sebuah gangguan yang disebut dermatillomania, juga dikenal sebagai Skin Picking Disorder (SPD)

Sayangnya, kondisi ini sering disalahpahami sebagai perilaku sembrono atau bahkan tanda ketidakdisiplinan dalam menjaga kebersihan diri. Namun, apa yang terlihat di permukaan hanyalah ujung gunung es dari pertempuran internal yang jauh lebih rumit.

Dermatillomania adalah gangguan mental yang ditandai dengan dorongan kompulsif untuk memencet, menggaruk, atau mencabut kulit, sering kali hingga menyebabkan luka. Menurut Dr. Indah Prameswari, seorang psikiater di Jakarta, kondisi ini tergolong dalam spektrum gangguan obsesif-kompulsif (obsessive-compulsive disorder, OCD). 

“Dermatillomania bukan tentang jerawat atau kulit kering. Ini tentang kecemasan yang mendalam, ketidakmampuan mengendalikan dorongan, dan upaya tubuh untuk mencari ketenangan di tengah kekacauan emosional,” jelasnya.


Bagi penderita dermatillomania, memencet kulit bukanlah tindakan impulsif belaka. Ini adalah ritual yang, ironisnya, memberikan rasa lega sesaat di tengah tekanan mental yang terus menumpuk. Namun, rasa lega ini sering kali disusul oleh rasa bersalah, malu, dan kesedihan karena luka yang ditinggalkan. 

Luka itu tidak hanya terlihat di kulit tetapi juga di hati. Mereka yang hidup dengan gangguan ini sering kali menghindari cermin, takut melihat bekas luka yang menjadi pengingat akan perjuangan mereka.


Sayangnya, masyarakat kerap meremehkan kondisi ini. “Kenapa sih nggak bisa berhenti? Kan itu kebiasaan aja,” mungkin menjadi komentar yang sering diterima oleh penderita.

Padahal, hal ini bukan sekadar kebiasaan buruk, melainkan sebuah pola kompulsif yang sulit dihentikan tanpa bantuan profesional. Dr. Retno Lestari, seorang dermatolog, menambahkan bahwa luka yang dihasilkan sering kali menjadi pintu masuk bagi infeksi serius, memperparah masalah kesehatan fisik dan mental penderita.

Sumber dari gangguan ini pun sangat kompleks. Dalam banyak kasus, stres dan kecemasan menjadi pemicu utama. Ketika tekanan hidup terasa begitu menghimpit, memencet kulit menjadi cara untuk melampiaskan emosi yang tidak tertangani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun