Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Self-Care: Antara Kebutuhan Jiwa dan Tren Estetika

30 November 2024   11:40 Diperbarui: 30 November 2024   11:40 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Self-care (sumber: koleksi Indah Citra) 

Kalau ada satu hal yang Instagram ajarkan pada kita, itu adalah bahwa self-care terlihat sangat estetik. Masker wajah dengan aroma lavender, lilin aroma terapi menyala di sudut kamar yang remang-remang, segelas teh hijau di samping novel yang (let's be honest) hanya difoto, bukan dibaca. Begitulah wajah self-care versi sosial media. Tapi, apakah benar self-care sesederhana itu? Atau jangan-jangan, kita malah terjebak menjadikan self-care sebagai tren estetik alih-alih kebutuhan esensial untuk kesehatan mental kita?


Mari kita mundur sejenak dan berpikir. Kapan terakhir kali Anda benar-benar melakukan self-care yang efektif? Bukan sekadar membuat konten, bukan untuk pencitraan di story Instagram, tapi benar-benar karena Anda ingin memulihkan diri. 

Apakah meditasi itu dilakukan karena Anda benar-benar merasa cemas, atau karena meditasi sedang trending? Apakah membeli skin care terbaru itu karena Anda ingin merawat diri, atau karena TikTok bilang produk itu bisa bikin kulit glowing seperti pendaran rembulan? Pertanyaan-pertanyaan sederhana, tapi jawabannya sering kali bikin nyesek.


Self-Care yang Terjebak di Dunia Virtual

Zaman sekarang, self-care lebih sering diidentikkan dengan aktivitas konsumtif. Seolah-olah Anda baru bisa mencintai diri sendiri kalau dompet ikut menangis. Padahal, self-care bukan soal membeli sesuatu, tapi lebih pada menemukan ketenangan di tengah kekacauan. 

Sayangnya, di era media sosial ini, self-care seperti terjebak dalam balutan kapitalisme: artinya belanja. Kalau nggak pakai produk mahal, nggak minum kopi di kafe Instagramable, atau nggak check-in di spa mewah, kok rasanya self-care-nya kurang sah?

Kita jadi lupa esensi dari self-care itu sendiri: sebuah kebutuhan, bukan gaya hidup yang harus dipamerkan. Kalau Anda sedang burnout, tubuh Anda tidak peduli apakah Anda memakai moisturizer seharga ratusan ribu atau yang dibeli di minimarket. Yang dibutuhkan adalah istirahat, waktu untuk memulihkan diri, bukan likes dan komentar yang memuji aesthetic feed Anda.


Self-Care Itu, Ironisnya, Tidak Terlihat

Hal yang sering terlupakan adalah bahwa self-care tidak selalu bisa ditangkap kamera.

 Kadang, berarti tidur delapan jam penuh, padahal ada deadline kerjaan yang menggoda untuk dilembur. Kadang, self-care berarti berkata "tidak" pada ajakan teman nongkrong demi menjaga energi Anda. Dan yang paling sering tidak dianggap estetik: pergi ke terapis atau meminta bantuan profesional ketika Anda merasa tidak sanggup menghadapi hidup sendirian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun