Pada suatu malam yang sunyi, saat bulan belum sepenuhnya bosan menggantung di langit, ponsel saya bergetar. Sebuah pesan WhatsApp masuk dari bos, berbunyi, "Bisa bahas laporan ini sekarang?"Â
Saya menatap layar dengan tatapan kosong, berharap ini adalah mimpi buruk yang akan berakhir setelah  menggoyangkan kepala sedikit. Tapi tidak. Ini nyata. Realitas pahit dari era digital yang memaksa kita mengaburkan batas antara kerja dan kehidupan pribadi.
Sejujurnya, saya rindu zaman di mana "kerja" hanya terjadi di kantor, dan begitu  jam menunjukkan pukul 5 sore, urusan kantor tertinggal di meja kerja bersama stapler yang sudah lelah.Â
Tapi kini, di era digital yang katanya penuh kemajuan ini, batas itu telah hilang. Kerja bukan lagi dari pukul 9 pagi hingga 5 sore. Kerja kini adalah 24/7, terjebak dalam lingkaran setan grup chat kantor, e-mail tengah malam, dan notifikasi Slack yang berbunyi lebih sering dari alarm kebakaran.
Kita semua tahu, teknologi diciptakan untuk mempermudah hidup. Tapi entah bagaimana, ia justru menghisap waktu dan privasi kita tanpa ampun.Â
Pernahkah kamu merasa lebih stres membaca e-mail daripada menghadapi macet di jalan tol? Pernahkah kamu berpikir, "Kenapa pekerjaan ini terasa lebih berat meskipun aku melakukannya dari rumah dengan piyama?"
 Jawabannya sederhana: karena kita kehilangan boundaries.
Dulu, pintu kantor adalah batas tegas antara profesionalitas dan privasi. Sekarang? Kantor itu ada di mana-mana. Ia menyelinap ke ruang tamu, ke meja makan, bahkan ke kamar mandi saat kita mencoba menikmati momen pribadi dengan duduk termenung di atas keramik dingin.
Yang paling menakutkan adalah betapa normalnya semua ini bagi kita. Kita menerima dengan pasrah, seolah-olah ini adalah bagian dari evolusi manusia modern. "Yah, namanya juga zaman digital," kita berkata sambil mengorbankan waktu makan malam bersama keluarga demi menyelesaikan laporan yang tak ada ujungnya.
Lalu apa dampaknya?Â