Kalau bicara soal warisan, pikiran kita biasanya langsung lompat ke hal-hal besar seperti rumah, tanah, tabungan, atau minimal perhiasan emas 24 karat yang bisa digadaikan saat akhir bulan.Â
Tapi, pernahkah kita benar-benar berhenti sejenak dan merenung, apa warisan terbesar yang sebenarnya ditinggalkan orang tua kita?
Bukan sertifikat tanah, tapi pelajaran hidup sederhana yang, sialnya, sering kita abaikan sampai waktu sudah terlambat.
Coba ingat-ingat, siapa yang pertama kali mengajarkan kita soal sabar? Mungkin jawabannya baru akan terlintas saat kita lagi stuck di lampu merah, sambil berharap ada superpower untuk menggeser mobil-mobil di depan. Ya, mereka adalah orang tua kita.Â
Kalau dipikir-pikir, mereka sudah berlatih sabar bahkan sebelum kita lahir. Mulai dari sabar menunggu giliran di puskesmas saat periksa kehamilan, sampai sabar menahan amarah waktu kita nangis di lantai mal karena nggak dibeliin mainan. Dan jangan lupa, sabar mengulang-ulang jawaban untuk pertanyaan, "Ini baju aku di mana, Ma?" yang diajukan dengan nada sok penting setiap pagi.
Mereka tidak hanya sabar, tapi juga ahli dalam seni pengorbanan.Â
Pernah dengar cerita klasik tentang seorang ibu yang rela makan sisa ikan asin demi memberi daging ayam terbaik ke anak-anaknya? Ya, itu bukan sekadar cerita klise. Itu fakta yang jarang kita sadari kecuali ketika kita sendiri menjadi orang tua.Â
Dari pengorbanan kecil seperti rela nggak ganti baju baru demi uang sekolah anak, sampai pengorbanan besar seperti bekerja lembur meski tubuh sudah minta istirahat, mereka selalu menempatkan kebutuhan kita di atas segalanya.
Tapi, kenapa kita baru menyadari besarnya pengorbanan itu setelah kita dewasa?
Jawabannya sederhana: kita terlalu sibuk. Sibuk tumbuh, sibuk mengejar cita-cita, atau bahkan sibuk memberontak pada aturan-aturan mereka yang kadang terasa kuno.Â
Kita lupa bahwa di balik setiap larangan mereka ada niat baik. Misalnya, larangan keluar malam bukan karena mereka kolot, tapi karena mereka tahu dunia luar nggak seindah drama Korea.