Pernah nggak, lagi scroll sosial media, tiba-tiba timeline penuh dengan curhatan semacam, "Aku depresi banget hari ini karena nggak bisa pilih filter IG yang cocok," atau "Anxiety attack gara-gara paket online telat datang." Di satu sisi, kita ingin berempati. Di sisi lain, kok rasanya ada yang janggal. Apakah memang semua orang sekarang mendadak jadi ahli diagnosis mental? Atau jangan-jangan, mental illness sedang jadi tren terbaru untuk eksistensi?
Sebelum kita menghakimi lebih jauh, mari kita sepakat dulu bahwa kesadaran tentang kesehatan mental itu penting. Dulu, topik ini tabu, dianggap hanya milik orang "kurang iman," dan solusinya cuma dua: ceramah agama atau jamu buatan tetangga.Â
Tapi sekarang? Orang mulai memahami bahwa kesehatan mental itu sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Namun, yang jadi masalah adalah ketika label mental illness digunakan sembarangan untuk hal-hal yang sebetulnya nggak ada hubungannya dengan kondisi medis.
Coba bayangkan, istilah seperti depresi, anxiety, OCD, atau bipolar kini sering dilemparkan begitu saja. Misalnya, ada yang bilang dirinya OCD hanya karena nggak tahan melihat remote TV berantakan. Atau merasa punya anxiety gara-gara diajak bicara bos tanpa aba-aba. Padahal, mereka mungkin hanya perfeksionis biasa atau sekadar gugup normal. Nah, inilah yang membuat banyak orang yang benar-benar menderita mental illness merasa suaranya jadi tenggelam di antara curhatan-curhatan "palsu".
Ada satu faktor yang membuat fenomena ini semakin menjadi: sosial media. Algoritma platform-platform ini sangat menyukai drama. Posting curhatan sedih atau "story time" tentang perjuangan melawan depresi, dan lihat bagaimana engagement naik drastis. Yang tadinya cuma punya 200 views mendadak tembus 10 ribu. Siapa yang nggak tergiur? Di sinilah letak bahayanya. Label mental illness jadi semacam aksesori virtual yang dikenakan untuk menarik simpati dan validasi.
Padahal, mental illness itu bukan sesuatu yang glamor. Orang yang benar-benar depresi nggak punya energi untuk bikin konten aesthetic dengan caption puitis. Mereka sibuk mencoba bertahan hidup hari demi hari. Mereka yang punya anxiety nggak akan dengan santai live di TikTok cerita panjang lebar tentang serangan panik mereka. Dan orang dengan bipolar? Mereka tidak akan dengan mudah menjelaskan "fase mania" mereka sambil bercanda di Instagram Story.
Ironisnya, tren ini juga membuat stigma terhadap mental illness semakin sulit dihilangkan. Orang-orang yang butuh bantuan sering dianggap hanya mencari perhatian karena terlalu banyak yang menggunakan label ini sembarangan. Akibatnya, mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan profesional jadi ragu untuk berbicara. "Nanti gue dianggap drama juga," pikir mereka.
Tapi di sisi lain, kita juga perlu bertanya, kenapa orang-orang merasa perlu menggunakan label mental illness untuk mendapatkan validasi? Apakah ini karena dunia kita semakin kurang empati? Atau karena sosial media membuat kita berlomba-lomba mencari pengakuan dalam bentuk likes dan shares?
Mungkin ada benarnya jika ini semua adalah refleksi dari betapa hausnya kita akan perhatian di era digital. Sosial media menciptakan ilusi bahwa eksistensi kita bergantung pada seberapa banyak orang yang peduli dengan apa yang kita bagikan. Dan ketika dunia semakin sibuk, curhatan tentang mental illness jadi cara instan untuk mendapatkan perhatian itu.
Namun, jangan salah, bukan berarti semua curhatan tentang kesehatan mental di sosial media itu palsu. Banyak juga yang tulus berbagi pengalaman mereka untuk memberikan edukasi atau mencari dukungan. Masalahnya adalah ketika tren ini membuat batas antara yang tulus dan manipulatif menjadi semakin kabur.