Coba bayangkan, dunia tanpa guru. Sudah? Nah, mari kita buka skenario absurd ini. Tanpa guru, dokter tidak akan tahu cara membaca resep, apalagi menulisnya dalam tulisan ceker ayam yang khas itu. Insinyur tidak akan tahu mana kabel positif dan mana kabel negatif. Bahkan, chef tidak akan tahu bahwa bumbu dasar itu ada lima, bukan sepuluh seperti yang dikarang bebas. Guru adalah fondasi semua profesi, tapi anehnya, mereka seringkali dianggap "cuma guru."
Padahal, kalau diibaratkan, guru itu seperti fondasi rumah. Tidak terlihat megah seperti lantai marmer atau atap genteng mahal, tapi sekali roboh, rumah itu berakhir jadi puing-puing. Tanpa guru, kita semua mungkin hanya sibuk mencoret-coret pasir tanpa tahu caranya membuat lingkaran sempurna. Tapi ya begitulah manusia, sering lupa menghargai sesuatu yang sudah dianggap "ada dari sananya."
Mari kita flashback sejenak ke zaman sekolah. Siapa di sini yang masih ingat pelajaran hidup paling absurd yang diajarkan guru? Bukan soal teori Pythagoras atau rumus molekul kimia. Tapi, hal-hal kecil seperti, "Jangan makan sambil berdiri, nanti rezekimu susah masuk." Atau, "Kalau punya pacar, belajar dulu, pacarnya nanti aja." Mungkin saat itu kita berpikir, "Apa hubungannya belajar dengan pacaran?" Tapi setelah dewasa, entah kenapa, nasihat-nasihat itu sering muncul lagi di kepala.
Guru adalah manusia dengan kesabaran dewa. Mereka bisa menghadapi 30-40 murid dengan berbagai tingkat keusilan, dari yang suka bikin pesawat kertas di belakang hingga yang sibuk mencari kutu di rambut temannya. Di mata guru, setiap murid adalah teka-teki yang harus dipecahkan, meskipun teka-teki itu kadang bikin kepala migrain.
Tapi apa balasan kita sebagai murid? Ya, mayoritas dari kita pasti pernah jadi anak nakal. Ingat saat pura-pura sakit supaya nggak disuruh maju ke depan kelas? Atau saat mencoba menyontek dengan kode-kode rahasia, meskipun seringkali gagal karena kode kita terlalu jelas. Kalau guru punya kamera tersembunyi, mereka pasti sudah jadi mata-mata internasional karena kemampuan mengendus kebohongan kita luar biasa.
Yang lucu, meskipun kita sering bikin ulah, guru tetap punya kemampuan ajaib untuk memaafkan. Pernah nggak dimarahi habis-habisan karena ketahuan cabut kelas, tapi besoknya guru itu tetap mengajar kita seolah nggak ada apa-apa? Bahkan masih sempat nanya, "Udah ngerti pelajaran yang kemarin, belum?" Luar biasa, kan?
Sayangnya, di tengah segala pengorbanan ini, profesi guru seringkali dipandang sebelah mata. Ada saja yang berkata, "Ngapain jadi guru? Gajinya kecil." Atau, "Jadi guru itu gampang, kan cuma ngajar." Padahal, siapa pun yang pernah mencoba mengajar satu kelas anak TK selama sejam saja pasti tahu, menjadi guru itu tidak cuma soal menyampaikan materi. Mereka adalah manajer, psikolog, dan entertainer dalam satu paket.
Guru tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga moral. Mereka adalah orang-orang yang pertama kali mengajarkan kita bahwa tidak apa-apa salah, selama kita mau belajar. Kalau nggak percaya, coba ingat waktu kecil ketika kita menulis angka 7 yang lebih mirip kail pancing, tapi guru tetap memuji, "Bagus, ini sudah hampir benar." Guru tahu bahwa kepercayaan diri adalah bahan bakar utama untuk belajar.
Di sisi lain, ada ironi yang tidak bisa kita abaikan. Ketika murid-murid yang dulu diajarkan menjadi dokter, insinyur, atau pengacara sukses, guru tetap berada di tempat yang sama, mengajar generasi berikutnya. Guru jarang terlihat di panggung besar atau diberi penghargaan megah, meskipun mereka adalah alasan kenapa panggung itu bisa berdiri.
Tentu, bukan berarti semua guru sempurna. Ada juga guru yang mungkin terlalu keras atau kadang tidak sabar. Tapi itu hanya menambah warna dalam perjalanan belajar kita. Dari guru yang selalu tersenyum hingga guru yang galaknya bisa bikin kita refleks berdiri tegak, setiap guru punya peran penting dalam membentuk kita.