Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Toxic Positivity: Ketika Keluhan Tulus Dibalas dengan Ceramah Semangat

23 November 2024   15:18 Diperbarui: 23 November 2024   15:30 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Toxic Positivity dan Pengaruhnya Terhadap Orang yang Cuma Mau Ngeluh

Ada kalanya hidup itu berat, dan solusi terbaik untuk meredakan beban adalah ngeluh. Iya, ngeluh. Tidak usah muluk-muluk mencari solusi atau hikmah, kadang kita hanya butuh seseorang yang mendengarkan, ikut mengangguk, dan mungkin menambahkan, "Iya, hidup emang nggak adil." 

Tapi apa yang kita dapat? Sebuah ceramah ala motivator dengan tagline yang kira-kira berbunyi, "Tetap semangat! Semua akan indah pada waktunya."

Eh, siapa yang bilang saya tidak mau semangat? Saya cuma mau ngeluh.

Fenomena ini sering disebut sebagai toxic positivity, sebuah kebiasaan untuk selalu memberikan respons positif tanpa mempertimbangkan emosi yang sedang dirasakan orang lain. 

Konsepnya sederhana: bukannya mendengarkan, orang justru buru-buru menyemangati kita, seolah-olah semua masalah bisa selesai dengan satu senyuman. Padahal, kalau boleh jujur, kadang senyum itu hanya kamuflase dari air mata yang tertahan.

Mari kita ambil contoh sederhana. Bayangkan Anda baru saja kena omel bos gara-gara kesalahan yang sebenarnya bukan salah Anda. Setelah itu, Anda curhat ke teman kantor. Respons pertama yang Anda harapkan mungkin sesuatu seperti, "Wah, nyebelin banget tuh bos. Kalau aku jadi kamu, aku juga kesel." Tapi apa yang Anda dengar? "Sabar ya, mungkin bos kamu cuma lagi stres." Loh? Jadi, saya salah lagi dong? Padahal niat awal saya cuma mau sharing penderitaan, bukan minta disuruh sabar.

Atau contoh lain, Anda baru saja selesai mengerjakan proyek besar dengan deadline mepet. Badan capek, kepala pening, dan Anda hanya ingin meluapkan rasa frustrasi Anda kepada pasangan. Responsnya? "Yang penting kamu sehat. Jangan lupa bersyukur." Nah, ini nih, kalimat pamungkas toxic positivity.

 Memang sih, bersyukur itu penting, tapi nggak harus juga diucapkan setiap kali ada orang ngeluh. Kadang, orang cuma ingin validasi atas rasa capeknya, bukan ceramah spiritual yang tidak diminta.

Apa efek dari toxic positivity ini? Banyak. Salah satunya adalah membuat orang merasa emosi mereka tidak valid. Ketika kita ngeluh, itu sebenarnya bentuk pengakuan atas apa yang kita rasakan. 

Tapi saat keluhan itu dibalas dengan kalimat seperti, "Jangan gitu dong, nanti nggak bahagia," seolah-olah emosi negatif itu adalah dosa besar yang harus segera ditebus. Padahal, manusia itu diciptakan dengan spektrum emosi yang lengkap, dari bahagia hingga marah, dari tenang hingga stres. Tidak ada yang salah dengan merasa sedih, marah, atau frustrasi. Yang salah adalah mengabaikan perasaan itu hanya demi terlihat positif.

Selain itu, toxic positivity juga menciptakan jarak dalam hubungan. Misalnya, Anda curhat ke teman tentang masalah keluarga yang bikin kepala nyut-nyutan, lalu teman Anda cuma bilang, "Yuk, semangat, kamu pasti bisa!" Lama-lama Anda jadi malas curhat. Rasanya seperti berbicara dengan chatbot yang hanya bisa menjawab dengan template kalimat penyemangat. Akibatnya, Anda memendam semua emosi itu sendiri, dan bukannya membaik, justru bisa berujung pada stres berkepanjangan.

Sebenarnya, toxic positivity ini sering tidak disadari oleh pelakunya. Mereka mungkin berpikir bahwa dengan menyemangati, mereka sedang membantu. Tapi kenyataannya, tidak semua masalah butuh solusi instan. 

Kadang, kita hanya butuh didengarkan. Misalnya, ketika Anda mengatakan, "Duh, kerjaan hari ini banyak banget, aku capek banget," respons yang ideal bukanlah, "Kamu pasti bisa kok, kerja keras itu nggak pernah sia-sia." Sebaliknya, cukup dengan, "Wah, capek banget ya, semoga bisa cepat selesai," itu saja sudah cukup membuat hati lebih lega.

Toxic positivity ini juga punya rekan sejawat yang tak kalah menyebalkan: overthinking positivity. Ini adalah versi upgrade, di mana keluhan kita justru dijadikan bahan perenungan mendalam tentang arti hidup. Contohnya, Anda bilang, "Duh, hujan terus, jemuran nggak kering-kering." Lalu teman Anda menjawab, "Ya ampun, tapi bayangin deh, orang di negara lain yang kekeringan pasti pengen banget hujan seperti kita." Loh, kok curhatan saya tentang jemuran jadi bahan perbandingan global? Saya cuma ingin baju saya kering, bukan ceramah tentang isu lingkungan.

Tentu saja, bukan berarti kita harus selalu pesimis atau menularkan energi negatif. Tapi, ada perbedaan besar antara menjadi suportif dan menjadi toksik. Menjadi suportif berarti memberikan ruang bagi orang lain untuk merasa, mendengarkan tanpa menghakimi, dan hanya memberikan saran jika diminta. Sedangkan menjadi toksik adalah berusaha "memperbaiki" perasaan orang lain dengan cara memaksakan pandangan positif, tanpa benar-benar memahami apa yang sedang mereka rasakan.

Jadi, bagaimana cara kita menghindari toxic positivity? Langkah pertama adalah belajar untuk mendengarkan. Ketika seseorang curhat, fokuslah pada apa yang mereka katakan, bukan pada respons apa yang harus Anda berikan. Tidak ada salahnya untuk mengatakan, "Aku ngerti kok, pasti berat banget." Kalimat sederhana seperti ini jauh lebih berarti daripada ceramah panjang tentang pentingnya bersyukur.

Langkah kedua adalah mengakui bahwa tidak semua masalah butuh solusi. Kadang, keluhan itu hanya bentuk pelampiasan sementara, seperti ketika kita memarahi tembok karena tersandung kaki meja. Itu tidak berarti kita membenci meja, tapi lebih kepada bentuk ungkapan rasa sakit yang tidak tahu harus diarahkan ke mana.

Langkah ketiga, yang mungkin paling penting, adalah menerima bahwa tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja. Kita tidak harus selalu kuat, tidak harus selalu bahagia. Terkadang, kita hanya perlu waktu untuk duduk, mengeluh, dan merasa lelah. Dan jika ada seseorang yang mendengarkan tanpa menghakimi, itu adalah bonus yang sangat berharga.

Jadi, jika Anda termasuk orang yang suka membalas keluhan dengan kalimat semangat, cobalah sesekali mengganti respons Anda. Dengarkan, berempati, dan jangan buru-buru memberikan solusi. Kadang, respons terbaik adalah diam sambil mengangguk dan berkata, "Iya, hidup emang kadang nyebelin." Percayalah, itu jauh lebih menenangkan daripada, "Tetap semangat, ya!"

Karena pada akhirnya, semua orang hanya ingin dimengerti, bukan diperbaiki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun