Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Healthy

"To Be or Not To Be": Sebuah Dilema Kesehatan Mental Abad Ini

14 November 2024   21:59 Diperbarui: 14 November 2024   22:10 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
releasemecreate.com

Membicarakan monolog terkenal "to be or not to be" dari Hamlet memang bukan hal baru, tapi mencoba mengaitkannya dengan kesehatan mental? Nah, itu bisa jadi hidangan lezat bagi otak yang haus makna atau sekadar camilan ringan untuk pembaca santai yang bosan scrolling media sosial. 

Mari kita bicarakan bagaimana frasa legendaris dari si Pangeran Denmark ini, yang lebih banyak berbincang dengan tengkorak ketimbang orang hidup, sebenarnya punya hubungan erat dengan pergulatan mental manusia masa kini.

Dilema Hamlet dan Kegalauan Zaman Now

Saat Hamlet merenungi, "to be or not to be, that is the question," dia bukan sedang memilih antara makan nasi padang atau mie ayam. Dia benar-benar berada di tengah pertanyaan eksistensial: hidup dengan segala kesakitannya atau menyerah dan membebaskan diri dari penderitaan itu. 

Bagi kaum milenial dan generasi Z yang penuh tanda tanya tentang masa depan, ini terdengar seperti renungan di tengah malam saat pekerjaan menumpuk tapi hati ingin liburan. Bedanya, Hamlet tidak punya akses ke kopi dingin atau self-help book bertuliskan, "Kamu Hebat, Kok!"

Ironisnya, kalimat itu begitu relevan di dunia yang kian cepat dan penuh tuntutan. Seseorang yang berjuang dengan kesehatan mental kerap dihadapkan pada dilema internal serupa: terus bertahan dalam tekanan atau menyerah pada keletihan mental yang mendera. Dan tidak, memilih opsi pertama tidak selalu berarti mendadak menemukan semangat hidup sambil tertawa bahagia di bawah sinar matahari. Lebih sering, itu berarti bangun dengan berat hati sambil berkata, "Oke, mari coba bertahan satu hari lagi."

Perjuangan Modern: Dari Hamlet ke Hektik

Sejujurnya, Hamlet sepertinya tidak pernah menghadapi presentasi Zoom yang mendadak ngelag atau notifikasi email di hari Minggu sore. Tapi prinsipnya tetap sama, hidup ini berat, Saudara-saudara! Di balik pencitraan media sosial yang tampak bahagia dengan filter cerah, banyak yang berjuang menahan air mata di balik layar. 

Perasaan terjebak antara "harus tetap kuat" dan "ingin menyerah" bukan sekadar kalimat puitis; itu kenyataan yang dihadapi banyak orang setiap hari. Dan saat semua orang berkata, "Stay positive!" dalam nada seperti robot motivasi, ada kalanya seseorang hanya ingin mengucapkan, "Boleh tidak, aku hanya diam dulu tanpa solusi muluk-muluk?"

Humor satire di sini adalah bahwa masyarakat sering terobsesi dengan ide "to be", terus berjuang, terus bekerja, terus terlihat sukses, tanpa benar-benar mempertimbangkan beban yang dipikul. Frasa "fake it till you make it" mungkin terlihat keren di spanduk seminar, tapi jarang dibahas betapa melelahkannya berpura-pura terus. Di sisi lain, "not to be" adalah pilihan yang tidak pernah diucapkan lantang karena stigma dan rasa takut. Padahal, mengakui kelemahan dan meminta bantuan justru adalah wujud keberanian, bukan kekalahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun