Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Mendidik Generasi Baper Nasional

29 Oktober 2024   19:17 Diperbarui: 29 Oktober 2024   19:23 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membicarakan isu kesehatan mental kini semakin jamak. Kesadaran publik tentang pentingnya menjaga kesehatan mental terus meningkat, namun, di tengah tren positif ini, ada juga sisi negatifnya. Isu-isu seperti kecemasan, depresi, burnout, hingga self-diagnosis sering kali menjadi sorotan, terutama di kalangan Gen Z dan generasi muda lainnya. Tak jarang, meningkatnya perhatian terhadap isu-isu ini justru melahirkan stigma baru yang sering diistilahkan sebagai "generasi baper." Banyak yang menganggap generasi masa kini menjadi semakin "lembek" dan kurang memiliki daya juang. Fenomena ini mengundang pertanyaan: apakah benar kepekaan terhadap mental health ini justru melemahkan ketahanan diri anak muda?

Contoh Kasus: Fenomena Generasi Baper

Banyak contoh kasus yang memperlihatkan meningkatnya kepedulian pada kesehatan mental, mulai dari artis hingga tokoh publik yang secara terbuka berbicara mengenai masalah kesehatan mental mereka. Fenomena ini, di satu sisi, membuka peluang untuk menghilangkan stigma dan membuat diskusi tentang mental health menjadi lebih inklusif. Akan tetapi, dampak lainnya adalah munculnya kecenderungan di kalangan generasi muda yang terlalu mengidentifikasi diri dengan masalah mental health, hingga ada yang menyalahgunakannya sebagai alasan untuk menghindari tanggung jawab atau menghadapi tantangan hidup.

Di lingkungan kerja, misalnya, beberapa HR (Human Resource) manager dari berbagai perusahaan mulai mengeluhkan bahwa karyawan dari generasi muda lebih rentan stres dan sering kali absen dengan alasan burnout. Banyak dari mereka yang bahkan baru bergabung beberapa bulan sudah mengaku kelelahan dan meminta cuti panjang. Hal ini berbeda dengan generasi sebelumnya, di mana ketahanan diri dianggap sebagai hal mutlak yang mendukung profesionalisme dan daya saing dalam bekerja.

Isu Mental Health pada Gen Z dan Generasi Setelahnya

Gen Z dan generasi muda lainnya tumbuh di era di mana informasi mengenai kesehatan mental begitu mudah diakses. Mereka adalah generasi yang sangat terbiasa dengan informasi cepat melalui media sosial, di mana isu kesehatan mental menjadi bagian dari diskusi sehari-hari. Di satu sisi, hal ini memberi keuntungan karena mereka lebih sadar akan pentingnya menjaga kesehatan mental. Namun, masalahnya, sebagian dari mereka justru cenderung mudah merasa tertekan dan merasa "berhak" mendapatkan perlakuan khusus saat merasa tertekan.

Menurut survei dari American Psychological Association (APA), Gen Z memang cenderung mengalami tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya, terutama akibat masalah sosial, ekonomi, dan tantangan di era digital. Namun, tingkat stres yang dialami juga berbanding lurus dengan rendahnya kemampuan mereka dalam mengatasi tekanan tersebut. Data dari APA menunjukkan bahwa 91% dari Gen Z yang disurvei menyatakan bahwa mereka merasakan gejala fisik atau emosional akibat stres, namun hanya sedikit yang memiliki strategi coping yang efektif.

Pandangan Psikologis: Apakah Memanjakan Mental Justru Membuat Generasi Mudah Rapuh?

Menurut Dr. Lisa Damour, seorang psikolog klinis dan penulis yang sering membahas isu-isu remaja dan kesehatan mental, pemahaman yang salah terhadap kesehatan mental dapat menyebabkan seseorang terlalu fokus pada hal-hal negatif dalam hidupnya. "Merasa sedih atau cemas adalah bagian dari kehidupan yang normal, tetapi bila setiap emosi negatif selalu dianggap sebagai masalah mental yang serius, itu justru dapat membuat seseorang semakin rapuh," ujar Dr. Damour.

Damour berpendapat bahwa pemahaman yang benar tentang kesehatan mental harus melibatkan keseimbangan antara menerima emosi negatif dan memiliki ketahanan untuk menghadapinya. Menurutnya, istilah kesehatan mental bukan berarti selalu merasa baik atau menghindari perasaan yang tidak nyaman, melainkan kemampuan untuk mengatasi tantangan tersebut dan tumbuh dari pengalaman yang ada. Sayangnya, pandangan ini sering kali kurang dipahami, terutama oleh generasi muda yang terlalu cepat menyimpulkan bahwa emosi negatif adalah tanda adanya masalah serius.

Di Indonesia sendiri, psikolog Tika Bisono juga menegaskan bahwa "kesehatan mental tidak sama dengan kebahagiaan terus-menerus atau tanpa tekanan. Justru dari tekanan-tekanan hidup tersebut, seseorang belajar untuk mengembangkan daya tahan diri atau resilience." Dalam pandangannya, ketahanan mental adalah sesuatu yang harus dibangun melalui pengalaman hidup, bukan sesuatu yang bisa diperoleh dengan instan atau melalui sekadar "self-diagnosis."

Opini Pribadi: Pentingnya Mendidik Ketahanan Mental dan Daya Juang

Dalam era yang serba cepat dan kompetitif ini, kita justru harus kembali mengajarkan ketahanan mental dan daya juang kepada generasi muda. Isu kesehatan mental memang penting, namun membentuk daya juang juga tak kalah pentingnya. Banyak dari kita tumbuh dalam situasi di mana kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Namun, dalam era sekarang, seolah-olah banyak generasi muda yang tidak siap menghadapi kegagalan, padahal pengalaman gagal adalah elemen penting dalam membangun ketahanan mental.

Ketika kita terlalu memanjakan emosi, dengan cepat memberi label "stress" atau "burnout" pada setiap tantangan, kita mungkin tanpa sadar membentuk pola pikir yang mudah menyerah. Sering kali, penyebab burnout bukanlah beban kerja, melainkan kurangnya strategi coping yang baik dan ekspektasi yang tidak realistis terhadap dunia kerja. Generasi sebelumnya mungkin tidak memiliki akses mudah ke informasi kesehatan mental, namun mereka terbiasa mengembangkan strategi coping melalui pengalaman sehari-hari.

Selain itu, akses informasi yang mudah sering kali membuat generasi muda cenderung mempraktikkan "self-diagnosis" terhadap masalah kesehatan mentalnya. Padahal, hanya seorang ahli yang bisa melakukan diagnosis dan memberikan penanganan yang tepat. Terlalu cepat memberi label pada diri sendiri juga dapat mengarah pada kecenderungan untuk menghindari masalah alih-alih menghadapinya. Bukannya menyelesaikan masalah, hal ini justru membuat masalah yang ada semakin kompleks dan sulit diatasi.

Di sinilah pentingnya mengajarkan ketahanan dan daya juang. Pendidikan ketahanan mental tidak melulu tentang mengabaikan emosi, melainkan tentang mengenal dan mengelola emosi tersebut dengan bijaksana. Sebuah riset dari University of Pennsylvania menemukan bahwa ketahanan mental bisa ditingkatkan dengan membiasakan diri untuk menghadapi situasi sulit secara bertahap. Misalnya, dengan menghadapi tantangan kecil setiap hari, seperti menyelesaikan tugas-tugas tepat waktu atau mengatasi konflik kecil, seseorang bisa melatih dirinya untuk siap menghadapi tantangan yang lebih besar.

Pendidikan ketahanan mental ini juga penting dalam membentuk generasi yang siap menghadapi dunia kerja. Saat ini, banyak perusahaan yang mengeluhkan karyawan muda yang mudah menyerah atau terlalu sering mengambil cuti karena alasan stres. Padahal, ketahanan diri dalam menghadapi tekanan adalah keterampilan penting dalam dunia profesional. Karyawan yang mampu bertahan dalam situasi sulit adalah karyawan yang dapat diandalkan dan siap menghadapi perubahan yang tak terhindarkan dalam lingkungan kerja.

Kesimpulan: Mendidik Generasi yang Peka Namun Kuat

Kesadaran terhadap kesehatan mental adalah langkah positif, namun kita harus memastikan bahwa generasi muda tidak terjebak dalam pola pikir yang terlalu berfokus pada perasaan negatif tanpa memiliki daya juang untuk mengatasinya. Penting bagi kita semua untuk memberikan pemahaman yang seimbang, bahwa perasaan tidak nyaman atau gagal adalah bagian alami dari kehidupan, dan justru dari pengalaman tersebut, kita belajar menjadi pribadi yang lebih kuat.

Mendidik ketahanan mental dan daya juang adalah kunci untuk menciptakan generasi yang peka, namun tetap kuat dalam menghadapi tantangan hidup. Dengan mengajarkan bahwa mental health bukanlah tentang menghindari emosi negatif, melainkan mengelola dan menghadapinya, kita dapat membantu generasi muda berkembang menjadi individu yang tangguh dan siap menghadapi segala tantangan yang ada di depannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun