Membicarakan isu kesehatan mental kini semakin jamak. Kesadaran publik tentang pentingnya menjaga kesehatan mental terus meningkat, namun, di tengah tren positif ini, ada juga sisi negatifnya. Isu-isu seperti kecemasan, depresi, burnout, hingga self-diagnosis sering kali menjadi sorotan, terutama di kalangan Gen Z dan generasi muda lainnya. Tak jarang, meningkatnya perhatian terhadap isu-isu ini justru melahirkan stigma baru yang sering diistilahkan sebagai "generasi baper." Banyak yang menganggap generasi masa kini menjadi semakin "lembek" dan kurang memiliki daya juang. Fenomena ini mengundang pertanyaan: apakah benar kepekaan terhadap mental health ini justru melemahkan ketahanan diri anak muda?
Contoh Kasus: Fenomena Generasi Baper
Banyak contoh kasus yang memperlihatkan meningkatnya kepedulian pada kesehatan mental, mulai dari artis hingga tokoh publik yang secara terbuka berbicara mengenai masalah kesehatan mental mereka. Fenomena ini, di satu sisi, membuka peluang untuk menghilangkan stigma dan membuat diskusi tentang mental health menjadi lebih inklusif. Akan tetapi, dampak lainnya adalah munculnya kecenderungan di kalangan generasi muda yang terlalu mengidentifikasi diri dengan masalah mental health, hingga ada yang menyalahgunakannya sebagai alasan untuk menghindari tanggung jawab atau menghadapi tantangan hidup.
Di lingkungan kerja, misalnya, beberapa HR (Human Resource) manager dari berbagai perusahaan mulai mengeluhkan bahwa karyawan dari generasi muda lebih rentan stres dan sering kali absen dengan alasan burnout. Banyak dari mereka yang bahkan baru bergabung beberapa bulan sudah mengaku kelelahan dan meminta cuti panjang. Hal ini berbeda dengan generasi sebelumnya, di mana ketahanan diri dianggap sebagai hal mutlak yang mendukung profesionalisme dan daya saing dalam bekerja.
Isu Mental Health pada Gen Z dan Generasi Setelahnya
Gen Z dan generasi muda lainnya tumbuh di era di mana informasi mengenai kesehatan mental begitu mudah diakses. Mereka adalah generasi yang sangat terbiasa dengan informasi cepat melalui media sosial, di mana isu kesehatan mental menjadi bagian dari diskusi sehari-hari. Di satu sisi, hal ini memberi keuntungan karena mereka lebih sadar akan pentingnya menjaga kesehatan mental. Namun, masalahnya, sebagian dari mereka justru cenderung mudah merasa tertekan dan merasa "berhak" mendapatkan perlakuan khusus saat merasa tertekan.
Menurut survei dari American Psychological Association (APA), Gen Z memang cenderung mengalami tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya, terutama akibat masalah sosial, ekonomi, dan tantangan di era digital. Namun, tingkat stres yang dialami juga berbanding lurus dengan rendahnya kemampuan mereka dalam mengatasi tekanan tersebut. Data dari APA menunjukkan bahwa 91% dari Gen Z yang disurvei menyatakan bahwa mereka merasakan gejala fisik atau emosional akibat stres, namun hanya sedikit yang memiliki strategi coping yang efektif.
Pandangan Psikologis: Apakah Memanjakan Mental Justru Membuat Generasi Mudah Rapuh?
Menurut Dr. Lisa Damour, seorang psikolog klinis dan penulis yang sering membahas isu-isu remaja dan kesehatan mental, pemahaman yang salah terhadap kesehatan mental dapat menyebabkan seseorang terlalu fokus pada hal-hal negatif dalam hidupnya. "Merasa sedih atau cemas adalah bagian dari kehidupan yang normal, tetapi bila setiap emosi negatif selalu dianggap sebagai masalah mental yang serius, itu justru dapat membuat seseorang semakin rapuh," ujar Dr. Damour.
Damour berpendapat bahwa pemahaman yang benar tentang kesehatan mental harus melibatkan keseimbangan antara menerima emosi negatif dan memiliki ketahanan untuk menghadapinya. Menurutnya, istilah kesehatan mental bukan berarti selalu merasa baik atau menghindari perasaan yang tidak nyaman, melainkan kemampuan untuk mengatasi tantangan tersebut dan tumbuh dari pengalaman yang ada. Sayangnya, pandangan ini sering kali kurang dipahami, terutama oleh generasi muda yang terlalu cepat menyimpulkan bahwa emosi negatif adalah tanda adanya masalah serius.
Di Indonesia sendiri, psikolog Tika Bisono juga menegaskan bahwa "kesehatan mental tidak sama dengan kebahagiaan terus-menerus atau tanpa tekanan. Justru dari tekanan-tekanan hidup tersebut, seseorang belajar untuk mengembangkan daya tahan diri atau resilience." Dalam pandangannya, ketahanan mental adalah sesuatu yang harus dibangun melalui pengalaman hidup, bukan sesuatu yang bisa diperoleh dengan instan atau melalui sekadar "self-diagnosis."