Di sebuah desa kecil di Sulawesi Tenggara, seorang petani sagu bernama Aswin tengah menghadapi kenyataan pahit. Beberapa tahun terakhir, permintaan sagu sebagai pangan lokal menurun drastis, digantikan oleh konsumsi beras yang jauh lebih tinggi. Padahal, sagu merupakan sumber karbohidrat utama bagi masyarakat lokal dan lebih tahan terhadap perubahan iklim. Kekhawatiran Aswin mencerminkan dilema yang dihadapi banyak petani Indonesia: bagaimana mempertahankan keanekaragaman pangan di tengah dominasi satu komoditas, yakni beras? Sementara itu, di sisi lain, perubahan iklim semakin memperburuk ketahanan pangan, memaksa petani mengubah cara bertani mereka agar bisa bertahan.
Contoh kasus Aswin di atas bukanlah satu-satunya. Saat ini, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga ketahanan dan keanekaragaman pangan. Meski Indonesia merupakan negara agraris dengan potensi besar untuk menghasilkan beragam jenis pangan, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya ketergantungan tinggi pada satu komoditas. Ketahanan pangan nasional masih didominasi oleh upaya menjaga stok beras, sementara sumber pangan lokal lainnya seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian belum sepenuhnya terintegrasi dalam kebijakan nasional.
Tantangan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan Indonesia
Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau dan ragam ekosistemnya, memiliki kekayaan pangan yang sangat beragam. Sagu di wilayah timur, jagung di daerah Nusa Tenggara, serta umbi-umbian di berbagai daerah, seharusnya menjadi kekuatan dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan. Namun, ketergantungan yang tinggi terhadap beras menyebabkan potensi ini seolah terabaikan. Tidak hanya itu, perubahan iklim, degradasi lahan pertanian, dan pertumbuhan penduduk yang pesat menambah beratnya tantangan ketahanan pangan di masa depan.
Salah satu faktor yang menyebabkan ketergantungan terhadap satu komoditas adalah kebijakan pangan yang cenderung mengutamakan produksi beras sebagai tolok ukur keberhasilan. Meskipun penting, pendekatan ini telah menciptakan ketergantungan yang berlebihan terhadap padi sebagai sumber pangan utama, tanpa mempertimbangkan ketahanan pangan berbasis lokal yang lebih tahan terhadap perubahan iklim dan fluktuasi pasar global.
Di tengah tantangan ini, muncul kebutuhan mendesak untuk mencari solusi yang tidak hanya mengamankan ketersediaan pangan, tetapi juga memastikan keanekaragaman pangan tetap terjaga. Forum Bumi yang diselenggarakan oleh Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia menjadi ajang penting untuk mengangkat isu ini, dengan melibatkan berbagai pihak yang peduli terhadap keberlanjutan pangan nasional.
Membangun Ketahanan Pangan Melalui Teknologi dan Kearifan Lokal
Melihat situasi ini, saya berpendapat bahwa masa depan ketahanan dan keanekaragaman pangan Indonesia harus berpijak pada dua pilar utama: pemanfaatan teknologi digital dalam pertanian dan pelestarian kearifan lokal dalam diversifikasi pangan. Kedua aspek ini dapat saling melengkapi untuk memastikan keberlanjutan pangan di masa depan.
Dalam acara Forum Bumi, Said Abdullah, Koordinator Dewan Pakar Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, menyatakan bahwa, "Ketahanan pangan bukan hanya soal produksi, tetapi juga akses dan keadilan dalam distribusi pangan lokal yang beragam." Pernyataan ini menegaskan pentingnya diversifikasi pangan sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan jangka panjang. Diversifikasi pangan tidak hanya memperkuat ketahanan pangan nasional, tetapi juga memastikan bahwa masyarakat di berbagai daerah dapat menikmati pangan yang sesuai dengan budaya dan kondisi lingkungan mereka.
Selain itu, teknologi digital harus dimanfaatkan untuk mendukung diversifikasi pangan ini. Internet of Things (IoT), blockchain, dan kecerdasan buatan (AI) dapat digunakan untuk memantau dan meningkatkan efisiensi pertanian, terutama di daerah-daerah terpencil yang selama ini kesulitan mengakses teknologi modern. Dengan menggunakan teknologi ini, petani bisa mendapatkan data real-time mengenai kondisi cuaca, kesuburan tanah, dan potensi serangan hama, sehingga dapat melakukan tindakan yang lebih cepat dan tepat.
Pada tahun 2025, saya memprediksi bahwa teknologi pertanian presisi berbasis IoTÂ dan AIÂ akan semakin terjangkau bagi petani di Indonesia. Teknologi ini memungkinkan pengelolaan lahan yang lebih efisien, sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanpa merusak lingkungan. Sebagai contoh, penggunaan sensor tanah dan drone untuk irigasi pintar bisa menjadi solusi bagi daerah yang mengalami kekeringan atau keterbatasan sumber daya air.