Sekitar di tahun 1823, sebelum keberangkatannya kembali ke Inggris. Sir Stamford Raffless bermaksud ingin melakukan ekspedisi ke Pulau Sumatera yang telah ia sebuat sebagai rumah baginya. Ekspekdisi kali ini bukan untuk mencari negeri jajahan lagi sebagaimana ia lakukan di tahun 1811, tetapi lebih mengarah pada melengkapi jurnal pengetahuannya baik sejarah, adat maupun flora dan Fauna khususnya di Pulau Sumatera.
Suatu hari ia bermaksud mengunjungi koleganya di Palembang, Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom. Beliau merupakan Sultan Terakhir Kesultanan Palembang yang menggantikan Sultan Mahmud Badarudin II yang dibuang ke Ternate akibat kalah perang saat Karena sejak penyerangan besar-besaran yang dilakukan oleh Mayor H.M. De Kock di tahun 1821. Sejak saat itu Kesultanan Palembang berada di bawah kekuasaan Kolonial Belanda.
Raffless tidak bersedia untuk merapat di Benteng Kuto Besak (Sekarang berada di depan Ampera) , ataupun Kuto Gawang (Sekarang petilasannya menjadi Pabrik PT.Pupuk Sriwijaya), karena artinya perlu melewati dua benteng yakni Gomorah (Pulau Kemaro) dan Benteng Borang. Ia khawatir akan memicu ketegangan dengan pemerintah kolonial Belanda jika kapal berbendera Inggris masuk ke Ibukota Kesultanan Palembang, sudah cukuplah bagi Raffles pengalaman ketegangan hubungan dua negara imprealis di Palembang pasca traktat London 1814. Bahkan Raffles pun menghindari untuk melakukan pertemuan di wilayah kepungutan ( daerah seputaran keraton Kesultanan Palembang )
Dalam situasi politik yang demikian panas Raffles juga memandang perlunya menjaga keamanan Prabu Anom, yang saat itu tidak lebih hanya sebagai “Penguasa Boneka” kolonial Belanda di Sindang (daerah-daerah yang berada perbatasan), karena itu Raffless memilih pertemuan daerah sikap ( dusun-dusun yang sebagian penduduknya ditugaskan membantu pekerjaan memenuhi urusan rumah tangga keraton).
Ketika merapat di Muara Sungsang (saat ini berada di dekat Pelabuhan Tanjung Api-api) , yang merupakan Pintu Gerbang Kesultanan Palembang dan merupakan salah satu Sikap Kesultanan Palembang, Raffles mengirimkan pesan melalui merpatinya kepada Sultan yang berada di Kuto Gawang.
Sultan Najamuddin Prabu Anom sangat gembira mendapat kabar tersebut,tampaknya ia bukan orang yang tidak tahu budi. Ia masih teringat jasa baik tim suksesnya satu itu, ia ingat betul bahwa ia dapat menjadi Sultan Palembang pada tahun 1812, lalu diturunkan pada bulan Juli 1813, namun berkat bantuan koleganya itu pada Bulan Agustus 1813 ia dapat naik tahta lagi, sampai pada bulan nopember 1818 diturunkan lagi, tetapi setelah kalahnya Palembang, Belanda sejak tahun 1821 menyerahkan pemerintahan kesultanan kepadanya kembali.
Jika bukan buah kerja timsesnya itu, tidak mungkin beliau dapat duduk santai menatap deburan riak kecil sungai Musi yang ditiup angin di teras Kuto Gawang.
Sayangnya Raffles tidak dapat lama-lama singgah di Palembang, karena itu Sultan pun buru-buru menemuinya, ia bersama Depati (Pesirah/Kepala Marga) yang mengajak serta beberapa kriyo (Kepala Dusun) dari beberapa dusun di sekitar Wilayah Sungsang.
Sudah menjadi kebiasaan Sultan untuk menjamu tamu yang dihormatinya, namun karena kendala jarak yang jauh dari keraton serta waktu yang terburu-buru, Sultan memutuskan hanya untuk membawa makanan kecil dari ibukota,yakni Pempek. Sejenis makanan yang terbuat dari campuran Daging Ikan, Sagu Rumbia, Garam dan Air dan dihidangkan dengan saus yang terbuat dari campuran gula merah, bawang putih, cabe dan air yang disebut cuko. Saat itu makanan ini telah terkenal di Palembang, dan menjadi hidangan saat menjamu tamu karena bentuknya yang menyerupai dimsum.
Singkat cerita, kedua kolega ini bertemu di dermaga Sungsang “ Apa Kabar Sultan yang Agung?” , Raffles yang telah fasih berbicara bahasa Melayu menambut Raffles dengan sumringah.
“Ah, Tom, yang manakah yang disebut Agung” sahut Sultan.