Rumput masih basah, tetesan air pun masih terjatuh satu per satu dari pohon mahoni. Matahari masih sungkan menunjukkan keperkasaan sinarnya, tertutup dengan awan mendung yang baru saja menunaikan tugasnya menurunkan air hujan membasahi bumi.
Bau tanah basah yang terbawa angin segar tersampai dengan sempurna melalui cuping hidung yang tidak bangir itu. Angin sejuk menerobos melalui jendela besar di ruang yang hanya ditempati Dara. Entah telah berapa lama Dara berdiri di sisi jendela, menatap aspal basah di seberang yang disesaki oleh lalu lalang berbagai kendaraan.
Bunyi deru mesin dan bunyi klakson mobil dan motor yang meminta kendaraan di depannya untuk berjalan lebih cepat. Seolah mereka tidak peduli pada kondisi badan jalan yang tertutup kendaraan yang terparkir sembarangan. Suara riuh redah itu justru sama sekali tidak mengganggu Dara. Dara terlalu menikmati rasa sendiri dan tersandera dengan rasa sepi.
Aimatanya mengalir, membasahi bulu matanya yang lentik serta pipinya yang tidak terlalu putih itu. Dara menggenggam sebuah telpon, ia memandang nomor yang tertera di layarnya yang tercatat dengan nama Hutama. Dara mencoba menekan tanda panggil, hanya ada nada sambung, tetapi tidak dijawab. Itu sudah kesekian kali dicoba Dara.
Dara mengetik dengan cepat di pesan Text , “ Andai aku tahu apa salahku, ingin aku mengucapkan kata maaf langsung padamu” dan pesan itu terkirim.
Dara menanti jawaban setiap detiknya, hingga detik ke 7245 kemudian terkirim sebuah pesan “ Nggak Kok Kak, nggak ada yang salah”.
Dara tahu bahwa ini hanya sebuah pengingkaran perasaan Hutama, telah beberapa minggu ini Hutama menghindarinya. Bahkan untuk hanya bertatap muka pun Hutama tidak bersedia.
Dara tidak merasa sakit hati, buat apa sakit hati Dara pun tidak tahu apa yang dirasakan oleh perasaannya sesungguhnya. Dara menolak dengan keras jika ia jatuh cinta pada Hutama. Hutama bukan siapa-siapa, bukan apa-apa dan Dara pun tidak mengenal dengan baik siapa Hutama sesungguhnya. Bahkan Hutama itu perokok, dan Dara sama sekali benci dengan perokok. Dara tidak suka berdekatan dengan perokok. Tetapi itu tidak menjadi msalah, karena memang Dara tidak pernah terlalu dekat dengan Hutama. Jarak yang paling dekat antara Dara dan Hutama 3 meter, itu pun berjarak dengan sebuah meja rapat besar.
Karena Dara hanya merasakan sesuatu yang sebenarnya sulit dijelaskan, ah mungkin kata yang mendekati adalah nyaman, iya ada perasaan nyaman ketika berada dekat dengan Hutama. Hanya memlihat senyum tulus Hutama telah membuat Dara terpaku. Kejadian itu beberapa waktu yang lalu. Dara bukan tidak pernah mengenal laki-laki, sehingga tidak pantas jika ia terperdaya hanya oleh senyuman manis.
Tetapi lebih dari itu, Dara melihat senyum Hutama yang berasal dari hati, bukan hanya bibirnya yang menyunggingkan senyum tetapi dari matanya pun tersenyum. Dara suka itu, senyuman dan sikap Hutama itu yang membuat Dara selalu merasa nyaman.
Bahagia itu sederhana, itu jargon yang selalu terdengar oleh Dara selama ini. Ya..benar sesederhana ketika Dara hanya perlu bertemu dan melihat Hutama tersenyum. Dara tidak menutupi hal itu, ia pernah ungkapkan pada Hutama melalui pesan singkatnya beberapa waktu lalu “ Bahagia melihat engkau tersenyum, berharap aku dapat selalu melihat senyum itu setiap kita ngobrol, dan semoga aku tak perlu mencari alasan untuk dapat ngobrol denganmu”.