Sebuah tragedi, ketika mendapat kabar dari Lebong, Bengkulu. Hampir satu bulan lalu seorang anak yang tengah menjemput impiannya, sepulang sekolah tewas mengenaskan. Ia mengalami penderitaan kemanusiaan, diperkosa oleh 14 orang dimana mayatnya pun diketemukan di tepian jurang dimana sebelumnya tubuhnya digelindingkan terlebih dahulu oleh pelaku pemerkosaan.
Sebuah tragedi besar pula terungkap, setelah diketahui sebagian besar pelakunya pun masih anak-anak, dibawah 18 tahun. Bahkan diantaranya adalah kakak kelas dari Yuyun.
Sebuah teriakan disuarakan ketika semua terkejut atas ancaman hukuman yang akan dijatuhkan kepada para pelaku kejahatan ini. Bahwa mereka “hanya” mendapat ancaman hukuman 15 tahun perjara. Kekhawatiran bahwa meraka akan menikmati hidup bebas ketika usianya masih muda. Penghukuman sebagai penjeraan masih melekat jelas pada bangsa ini.
Bangsa ini mencoba melindungi anak-anak pelaku kejahatan dari hukuman berat melalui UU nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bahwa batas usia anak adalah tidak lebih dari 18 tahun atau belum pernah kawin. Hukuman yang dapat dijatuhkan kepada anak setengah dari orang dewasa. Hukuman maksimal adalah 10 tahun, yang artinya jika orang yang digolngkan anak/belum dewasa tidak dapat dijatuhkan hukuman mati. KUHP pun demikian, dalam pasal 45,46,47 ancaman pidananya maksimal 15 tahun dengan batas usia anak adalah tidak lebih dari 16 tahun, atau belum pernah kawin dengan ancaman pidananya dikurangi sepertiga dari ancaman hukuman orang dewasa.
Tetapi akan menjadi perdebatan sengit ketika mengemuka pertanyaan, pantaskah manusia-manusia yang berani mencederai rasa kemanusiaan, dengan memperkosa kemudian beramai-ramai seorang gadis kecil?. Masihkah perlindungan terhadap mereka masih ada?
Hukuman apa yang akan memberi pembelajaran kepada meraka agar dapat kembali ke masyarakat?. Pernah ada usulan pengkebiran kimia kepada pelaku pemerkosa. Selain biaya yang tidak murah, juga efeknya yang hanya temporal juga belum ada mekanismenya dalam peraturan di negari yang sistem hukumnya legisme ini.
Perlu kajian yang mendalam dan multi bidang ilmu dalam mendalami kasus ini, terlebih menjadikan alasan mabok karena minuman “murah” tuak, yang hanya dengan uang 40 ribu telah cukup mengubah anak-anak ini menjadi berperilaku mengerikan. Ah…tidaklah kita lupa jika Lebong yang berada di bukit barisan Sumatera adalah daerah transit perdagangan, yang memperbesar kemungkinan beredarnya barang haram.
Meski Pemerintah melalui kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pada akhir maret lalu telah meluncurkan program 3 end, End of violence againsts women and children, End Human Trafficking, End Barriers to Economic Justice ,namun gaungnya belum terdengar dahsyat. Bahkan dalam websitenya pun tertutup dengan kajian hari konsumen. Biarkan spirit Yuyun menjadi pemantik api untuk mengobarkan perlindungan terhadap perempuan dan anak, karena memang tugas bersama menghentikan tidak terulangnya kejadian Yuyun, dengan mencegah agar tidak terulang kembali munculnya remaja-remaja putus sekolah, tidak berdaya ekonomi, pemabuk dan pelaku kejahatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H