Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Jelajah dan Lindungi Lahan Basah Nusantara

17 April 2023   21:17 Diperbarui: 17 April 2023   21:19 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://www.instagram.com/sutarahady/ (via Indonesia.Travel.

Sobat, tahu gak sih negara kita adalah negara yang memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia?.

Dari data Bappenas saat ini ada sekitar 3,2-3,3 juta hektar ekosistem magrove di Indonesia. Ekosistem magrove berfungsi sebagai penyimpanan cadangan karbon. Untuk satu ekosistem mangrove dapat menyimpan  cadangan karbon sebesar lebih dari 950 ton karbon per hektar.  

Hitung saja jika berapa ton cadangan karbon yang tersimpan di negeri ini hanya dari fungsi magrovenya saja?.

Persoalannya, magrove di Indonesia sejak tahun 2000-an mengalami penurunan luasan yang semakin massif karena alih fungsi hutan mangrove. Masih berdasarkan info Bappenas, rata-rata deforestasi di Indonesia mencapai 325 ribu hektar/tahun dimana deforestasi mangrove sekitar 18%. 

Tentu saja hal ini akan sangat berimplikasi besar, mulai dari abrasi pantai, berkurangnya populasi hewan laut yang tergantung pada ekosistem mangrove, yang jika dibiarkan dapat mengakibatkan manusia kekurangan pangan dari hasil laut.

Baca :  Dampak Jika Hutan Bakau Rusak 

Dampak lain yang tak kalah mengerikan adalah terjangan badai dan tsunami tidak terbendung.

Mangrove sebagai filter laut dari sampah-sampah dan zat-zat beracun dari daratan.  Jika ekosistem mangrove mengalami kerusakan juga akan mengakibatkan kerusakan ekosistem padang lamun dan terumbu karang. 

Dan seperti yang dibahas sebelumnya, efek yang paling mengerikan adalah efek gas rumah kaca dan pemanasan global yang menjadi PR bersama-sama warga dunia saat ini. 

Isu Pemanasan Global Bukan Isapan Jempol

Perkembangan teknologi yang katanya mempermudah hidup manusia ternyata memberikan efek yang begitu besar, jejak karbon yang emisi karbon. Termasuk pada industri pariwisata.

Apa sih emisi karbon? . 

Secara sederhana emisi karbon adalah pelepasan karbon dari aktivitas-aktivitas di atas ke atmosfer yang meningkatkan aktifitas gas rumah kaca (GRK)

Lho, bukannya GRK itu kita perlukan untuk menghangatkan bumi? 

Benar, akan tetapi jika grk yang terlalu banyak yang dilepas ke atmosfer,  akan menjadikan bumi menjadi lebih panas. 

Akibatnya  suhu bumi yang lebih panas,  lebih sering kekeringan, cuaca yang tidak menentu dan banyak lagi. Dengan demikian emisi karbon berkontribusi yang sangat besar dalam perubahan iklim. 

The United Nations World Tourism Organization & International Transport Forum pada tahun 2019 melaporkan, kontribusi sektor pariwisata dalam menyumbangkan emisi CO2 sebesar 5 % pada 2005. Sementara transportasi menjadi komponen terbesar dalam menyumbang gas emisi rumah kaca yaitu 75 %.

Ah...kecil itu cuma 5 %. 

Iya, Kalau dilihat dari angka kelihatan kecil, tetapi itu hanya dari satu sektor. Belum lagi dari sektor makanan dan minuman, penginapan, dan jasa. Ya gak kecil kan jadinya?.

Tetapi sektor pariwisata juga menumbuhkan perekonomian, termasuk Indonesia. Lagian kan kita memang membutuhkan healing kan ya? Ngapain lah kerja sampai hampir gila tetapi kita gak memberi kebahagian dalam hidup kita untuk bahagia dengan traveling?.

Apalagi Indonesia memiliki objek-objek pariwisata super lengkap. Mau wisata apa aja ada, sesuaikan saja dengan hobimu. 

Buat yang suka sekali dengan suasana yang hening, tenang dan hijau. Berjalan-jalan ke hutan magrove memang sulit ditolak kan, ya?

Tapi gimana dong, merasa berdosa nih dengan ibu bumi , jalan-jalan meninggalkan jejak karbon, lalu jadi emisi karbon dan grk. 

Dalam kehidupan modern, kita sama sekali tidak dapat menghilangkan jejak karbon. Bahkan seharian di rumah pun kita tetap meninggalkan jejak karbon. Mulai dari makanan kita, pemilihan makanan, cara pengolahan, pendingin makanan termasuk pendingin ruangan kita. Belum lagi besaran daya listrik dan air yang kita pergunakan sehari-hari.

Ya kalo gitu, bisa cuek aja toh?

Gak gitu konsepnya. Kita memang tidak dapat menghilangkan jejak karbon dari diri kita. Tetapi bisa kita menguranginya. Ada banyak cara yang dapat kita lakukan untuk itu. 

Sebut saja penyusunan itinerary yang lebih detail. Bukan hanya tujuan dan anggaran yang dibuat. Tetapi pemilihan moda transportasi apa yang lebih hemat energi atau ramah lingkungan, pemilihan tempat makan dan penginapan yang menerapkan prinsip sustainability, termasuk melihat rekam jejak penyelenggara perjalanannya.

Kita juga memastikan diri sendiri menjalankan lifestyle gaya hidup lestari, seperti meminimalisir penggunaan plastik sekali pakai, tidak buang sampah sembarangan, menolak membeli atau mengkonsumsi produk dari hewan/tanaman yang dilindungi.

Jangan gengsi untuk membawa perangkat makan dan minum isi ulang, selain tujuannya menghemat. Ini juga upaya untuk mengurangi jejak karbon.

Ada cara lain untuk mengurangi rasa bersalah telah meninggalkan jejak karbon karena berpariwisata, yakni  carbon offsetting. Secara sederhana kita "membayar"  sebagian jejak karbon yang telah kita tinggalkan selama perjalanan.

Kalo kita melakukan perjalanan ke hutan mangrove, kita bisa saja membeli dan menanam bibit mangrove. Kan asyik tuh berwisata sekaligus menebus dosa dengan ibu bumi.

Ah...repot. lagian seberapa juga jejak karbon yang kita tinggalkan?

Nah, sekarang ada cara buat kamu menghitung jejak karbon kamu loh dengan menggunakan Indonesia Travel Carbon Calculator. Ini bukan hanya untuk para traveller, buat kaum rebahan di rumah juga bisa pake jika ingin  carbon offsetting.

Setelah menghitung  jejak karbon yang kita hasilkan setiap harinya, kita dapat membeli pohon untuk penyerapan jejak karbon tersebut dengan menyumbangkan dana melalui Kemenparekraf.

Gak usah galau kuatir kita yang akan menanamnya mitra konservasi Kemenparekraf yang akan melakukan   Penanaman di kawasan konservasi yang disepakati bersama.

Ada angka tertentu yang akan disebutkan dalam kalkulator, besarannya tergantung  besaran emisi karbon dan lokasi penanaman/program.

Kalo ada program kayak gini gimana gak makin bangga berwisata di Indonesia.

Yok, jelajahi negerimu dengan tetap meminimalisir jejak karbonya dan carbon offsetting. Wisatanya di Indonesia aja, wisata jauh-jauh jejak karbonnya makin tinggi, he...he...

Selamat menjalankan ibadah puasa dengan bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun