Baru saja kami menuruni  tangga di ujung jembatan Ampera di bagian ulu telah disambut keramahan mamang-mamang becak yang menawarkan jasanya.
Sayang, kami kompal yang terdiri dari Bimo Rafandha, Deddy Huang dan Agus Fathullah  akan menghabiskan senja di hari sabtu kali ini dengan wisata jalan kaki.
Tujuan kami, yang sengaja playing like tourist  tidak terlalu jauh, ke arah pasar 10 ulu, dekat dengan salah satu bangunan iconic Palembang, salah satu klenteng tertua di Palembang Klenteng Dewi Kwan Im Candra Nadi.
Sepanjang jalan tersebut berderet warung-warung pempek. Kawasan 10 ulu memang dikenal juga sebagai kawasan penjualan pempek yang enak di Palembang ulu.
Namun, bukan itu juga tujuan kami, kami ingin mencari makanan yang sudah sangat langka di Palembang.Â
Makanan ini biasanya hanya di jual di saat ramadan dan bulan agustus menyambut perayaan kemerdekaan Republik Indonesia, yakni Telok Ukan.
Tidak banyak yang tahu apa itu telok ukan. Logat masyarakat Palembang menyebut telur sebagai telok. Secara harfiah telok ukan bermakna telur bukan?.
Makanan unik ini terbuat dari telur bebek. Sebagai daerah mayoritas rawa, merupakan ekosistem terbaik untuk memelihara itik, baik itik petelur maupun pedaging.
Cara membuatnya yang cukup rumit, juga hanya diminati kalangan tertentu tampaknya membuat makanan ini makin langka.
Telok ukan dengan rasa gurih, bertekstur kejal dengan permukaan halus selayaknya telur rebus biasa berwarna hijau.Warna hijau ini berasal dari sari pandan yang menjadi campurannya.Â
Pembuatannya agak repot, telur bebek dipecahkan ujungnya sedikit  agar dapat mengeluarkan isinya. Pemecahan cangkang telur ini harus sangat hati-hati karena cangkangnya akan dipergunakan kembali.
Kemudian isi telur bebek  ini dikocok lepas lalu diberi daun pandan, dan ditambahkan sedikit kapur agar bertekstur kejal. Selanjutnya kocokan telur ini dimasukkan kembali ke dalam cangkangnya dan ditutup dengan tutup yang terbuat dari kayu gabus, yang juga tanaman khas rawa kemudian direbus.
Rasanya yang nanggung kadang membuat bingung bagi penikmat pertamanya. Warna hijau cantiknya mengingatkan pada warna srikaya,namun kejalnya mengingatkan pada bolu kojo ( yang dimaksud adalah bolu kojo, bukan lapis kojo. Karena di Palembang 2 makanan tersebut sangat berbeda). Namun rasa yang didapat dari telok ukan hanya gurih dari rasa telurnya yang amisnya berkurang karena telah diberi daun pandan. Sama sekali tidak manis karena tidak ada tambahan gula ataupun gurih karena tambahan santan.
Kami mencoba-coba mencampur telok ukan dengan krimer kental manis, berharap rasanya menyerupai kojo. Tetapi menurut kami rasanya kurang pas, memancing aroma amisnya muncul.
Trial and error dinyakatakan failed. Jauh lebih nikmat kembali ke selera asalnya dinikmati dengan ketan.
Jika di bulan ramadan hampir di seluruh pasar bedug ada yang menjual makanan ini, begitu juga saat bulan agustus di sekitar kantor walikota banyak yang mendagangkannya, di hari biasa sangat sulit mendapatkanya.
Satu-satunya tempat yang menjualnya setiap hari adalah penjual telok ukan dan telok pindang gerobakan di pasar 10 ulu dan ganya dijual sore hingga malam hari. Karena itulah kami sengaja dari Palembang ilir ngandon (menyambangi) pasar 10 ulu hanya untuk mendapatkan makanan ini.
Telok pindang ini gurih dan manis, bukan hanya cocok dimakan langsung, dinikmati dengan ketan ataupun menjadi lauk.
Penasaran untuk mencobanya? Yok ke Palembang.Â
Jangan lupa untuk kontak Kompal jika bertandang ke kota kami. Masih banyak lagi aneka makanan tradisional Palembang yang dapat dinikmati.
Tinggal siapkan perut, mantapkan hati untuk memanjakan lidah dengan berbagai varian kuliner Palembang.
Salam kompal buat semarkutiga dan kompasianer.