Masih belum hilang dari memori saya percakapan guru dengan teman saya beberapa dekade yang lalu, "Kenapa kamu tetap sekolah, bukannya seharusnya kamu merayakan lebaran, Taufik?".Â
Kami biasa menyebut imlek atau sincia dengan sebutan lebaran cina.
Taufik, teman sekelas saya sewaktu SD, adalah warga etnis Tionghoa. Keluarga besarnya menganut aliran Kong Hu Cu, tetapi harus mengaku Budha jika ditanya apa agamanya.Â
"Percuma saya di rumah, Bu. Papa masih jualan di toko sampe siang nanti. Tapi kata Papa jika Bu Guru dan teman-teman berkenan sanjo, kami persilahkan" jawabnya santai.
Masih teringat mata kami yang bulat kegirangan dengan undangan ini, terbayang sudah ang pao dan ragam manisan yang saat itu jarang kami rasakan. Keiistimewaan lebaran Cina pada ang pao dan panganan hasil industri. Demi memastikan kami yang mayoritas muslim tidak terkontaminasi makanan haram, biasanya jiron di sekitar kami yangt merayakan sin cia akan menyugukan makanan dan minuman produk pabrikan yang dianggap lebih terjamin kehalalannya.
Saat itu, di era 90-an, makanan dan minuman kaleng adalah kemewahan buat kami. Bahkan di saat idul fitri pun hanya beberapa rumah yang menyediakan dan jelas anak-anak tidak dalam prioritas.
Demikian pula dengan ang pao, semua yang kami kunjungi dapat dipastikan akan memberi kami ang pao. Dimana tradisi memberi uang saat lebaran idul fitri tidak dikenal di keluarga dan tetangga kami masa itu.
"Sin nien kuai le, kung si kung si ni." ucapan yang diajarkan kepada kami. Ha ha... tanpa merasa bersalah bahkan diakhiri dengan kaliman "Ang pao tuo tuo lai". Perayaan tahun baru imlek adalah perayaan kebahagian bersama.
Jika saya dulu bertanya pada Asuk mengapa ia tetap berdagang meski ia lebaran " biar banyak hoki " alasan yang dikemukakannya, setelah lebih dewasa saya baru memahami jika saat itu merayakan dengan sangat terbuka pun menjadi ketakutan tersendiri bagi mereka.
Tidak banyak tradisi masyarakat Tionghoa yang banyak saya pahami, kecuali cap go meh, ceng beng, lebaran bak cang. Bahkan saat saya menonton film kung fu yang mempertontonkan barongsai, Ama menjelaskan hal tersebut tidak dapat saya saksikan karena itu perlu ahli kung fu,jadi tidak semua orang dapat melakukan atraksi demikan. Itulah di Palembang tidak ada pertunjukan barongsai.
Ah... andai saya tahu jika waktu itu Ama tetangga saya itu bohong,apa susahnya langsung mengatakan bahwa pertunjukkan barongsai dilarang kala itu. Tidak semudah itu, Ama selalu kuatir menjelaskan apapun yang terkait dengan etnis Tionghoa, apalagi jika menjelaskan mengapa mereka harus punya 2 nama. Satu nama Indonesia dan satu lagi nama Cina.