Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

115 Napi Seumur Hidup Itu Mendapat Remisi, Bukan Grasi

31 Januari 2019   12:54 Diperbarui: 31 Januari 2019   12:57 1759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemberitaan minggu lalu bahwa presiden Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 29 Tahun 2018 yang ditandatangani tanggal 7 Desember 2018. tentang Pemberian Remisi Berupa Perubahan Dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara kepada kepada 115 narapidana yang divonis seumur hidup.

 Ada dua pertimbangan Jokowi memberikan remisi sebagaimana tertuang dalam Keppres tersebut:

1. Bahwa setelah mempertimbangkan secara seksama permohonan para terpidana yang nama-namanya sebagaimana termaksud dalam surat Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH.PK.01.05.07-04 tanggal 31 Mei 2018, dinilai terdapat cukup alasan untuk memberikan remisi perubahan dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementera.

2. Bahwa terpidana yang nama-namanya tercantum pada kolom lampiran 2 Keputusan Presiden ini adalah terpidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan telah menjalani pidana sekurang-kurangnya 5 tahun berturut-turut serta berkelakuan baik.

Menjadi mengemuka karena dari 115 napara pidana tersebut,  termasuk pembunuh I Nyoman Susrama, otak kasus pembunuhan jurnalis Radar Bali, AA Prabangsa. Sebuah kasus yang cukup mengharu buru dengan penuh drama dalam proses pengungkapannya. Sebuah terobosan luar biasa ketika kasus ini dapat diungkap bahkan menjatuhi pidana seumur hidup untuk otak pembunuhan tersebut serlah jaksa menuntut hukuman mati.  Dimana kasus pembunuhan terhadap jurnalis lain belum terungkap.

Ada dua hal yang harus saya jelaskan dalam hal ini, seumur hidup itu bukan berarti hukuman seusia terpidana itu misal Surama saat divonis berusia 50 tahun artinya hukuman penjara ia 50 tahun,tetapi seumur hidup yang dimaksud adalah ia dipenjara sampai meninggal dunia, artinya tidak berbatas waktu.

Juga beredar kabar sebelumnya bahwa ini adalah grasi, karena ada keppres di sini. Ditegaskan bahwa ini adalah remisi. Meski remisi yang umumnya diketahui publik cukup melalui Surat Keputusan Menkumham.

Remisi adalah pengurangan menjalani masa hukuman pidanan yang diberikan kepada Nara pidana dan Anak (yang berkonflik dengan hukum) yang memenuhi syarat yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 angka 6 PP No.32/1999 tentang syarat dan

Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Pasal 1 angka 3 Permenkumham No.3/2018 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat , Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat)

Ada beberapa macam Remisi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 Permenkumham 3/2018, yakni  

  • Remisi Umum: diberikan pada hari peringatan kemerdekaan RI, 17 Agustus.
  • Remisi Khusus: diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana atau Anak yang bersangkutan, dengan ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan dalam setahun, maka yang dipilih adalah hari besar yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang bersangkutan.

Selain Remisi di atas, dalam Pasal 4 Permenkumham 3/2018 Narapidana dan Anak dapat diberikan:  Remisi kemanusiaan  diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Permenkumham 3/2018), yaknin Remisi atas dasar kepentingan kemanusiaan diberikan kepada Narapidana:

  • yang dipidana dengan masa pidana paling lama 1 (satu) tahun;
  • berusia di atas 70 tahun; atau
  • menderita sakit berkepanjangan.

Remisi tambahan, Remisi tambahan kepada Narapidana dan Anak apabila yang bersangkutan: (Pasal 32 Permenkumham 3/2018)

  • berbuat jasa pada negara;
  • melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau sosial; dan
  • melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di lembaga pemasyarakatan ("Lapas")/Lembaga Pembinaan Khusus Anak ("LPKA").

Remisi susulan, diatur dalam Pasal 39 ayat (3) Permenkumham 3/2018, Remisi susulan diberikan jika Narapidana dan Anak berkelakuan baik dan lamanya masa penahanan yang dijalani tidak terputus terhitung sejak tanggal penghitungan masa penahanan memperoleh Remisi sampai dengan tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.   Remisi susulan dapat diberikan kepada Narapidana dan Anak yang: Pasal 40 Permenkumham 3/2018 telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dan belum pernah memperoleh Remisi.

Selain kelima remisi tersebut (Remisi Umum, Remisi Khusus, Remisi Kemanusiaan, Remisi Tambahan,  Remisi Susulan), Dalam kepres no. 174/99 pasal 9 mengatur mengenai remisi bagi narapidana seumur hidup, yakni :

(1) Narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan telah menjalani pidana paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut serta berkelakuan baik, dapat diubah pidananya menjadi pidana penjara sementara, dengan lama sisa pidana yang masih harus dijalani paling lama 15 (lima belas) tahun.

(2) Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(3) Permohonan perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara diajukan oleh Narapidana yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan Perundang-undangan.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan perubahan pidana seumur hidup menjadi pidana sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Hukumdan Perundang-undangan.

Sederhananya, masa hukuman seumur hidup dikurangi  menjadi 20 tahun dengan hak-hak lanjutan untuk mendapat remisi selayaknya napi lain.

Pengaturan lebih lanjut mengenai remisi  untuk narapidana sumumr hidup pada  Kepmenkumhan  RI No.: M-03.PS.01.04 tahun 2000 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Remisi bagi Narapidana yang menjalani pidana seumur hidup menjadi pidana penjara sementara. Dalam hal inilah dipertegas bahwa harus dibuat dalam Keputusan Presiden.  

Hal ini berbeda dengan grasi (pengampunan) yang diatur dalam UUD Negera RI 1945, pasal 14 "Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Pengaturan mengenai grasi diatur dalam UU 5/2010 yang menegaskan bahwa  Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana (Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun)  kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Grasi ini didapat dengan pengajuan oleh terpidana yang hanya dapat diajukan 1 kali demi kepastian hukum. Perbedaannya pada proses permohonan meski sama-sama melibatkan kembaga pemasyarakatan, dimana nara pidana menjadi warga binaan mereka, dimana jika permohonan grasi dan salinannya diajukan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan, maka Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat tujuh hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya..

Atau jika Permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya langsung  kepada presiden, maka  Salinan permohonan grasi tersebut disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung serta 3. Permohonan grasi dan salinannya juga dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.

Sedangkan remisi, prosesnya adalah pihak lapas membentuk Tim Pengamat Pemasyarakatan, tim inilah yang bersidang dan menetapkan apakah seorang narapidana sudah berkelakuan baik dan layak mendapat remisi.Hasilnya kemudian dibawa ke Tim Pengamat Persidangan di tingkat Kanwil, dan dilanjutkan ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, lalu dibuat dalam Surat menkumham (cukup sampai disini pengesahannya jika remisi ini remisi umum, khusus, kemanusiaan, tambahan, susulan), karena remisi ini adlaah remisi bagi narapidana seumur hidup menjadi penjara sementara, maka wajib disahkan dengan dengan Keppres.

Ini menyalahi hukum, jelas tidak, karena memang 115 napi ini adalah napi pidana umum, bukan napi kejahatan luar biasa. Karena memang di Indonesia hanya mengenal pidana pembunuhan berencana dan tidak berencana, tidak ada pembedaaan killer, murder, assasin atau tingkat jenis pembunuhan, semua sama saja. Napi yang menjalani hukuman karena kasus pembunuhan.

"Tidak ada kebebasan pers yang terusik di sini, tidak ada UU yang dilanggar di sini" mungkin dapat menjadi justifikasi. Tetapi bicara hukum tentu tidak dapat bicara soal kepastian hukum dan tidak adanya prosedur yang dilanggar. Tetapi hukum pun memiliki fungsi untuk mencapai keadilan dan kesedapan hidup bersama yang semuanya harus berjalan seiring sejalan.

Memberi keringanan pada otak pembunuhan seorang jurnalis, ia dibunuh karena profesinya memnyampaikan berita kepada masyarakat yang memang diatur dalam konstitusi dianggap sebagai pembunuhan biasa. Putusan ini akan menjadi preseden ke depan, ia tidak diampuni melalui grasi tetapi dapat diringankan cukup dengan prosedur kekuasaan eksekutif, tanpa campur tangan yudikatif.

Selamat beraktifitas kembali setelah makan siang, Salam Kompak dari Kompal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun