Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Matahari

1 Oktober 2018   09:23 Diperbarui: 1 Oktober 2018   09:32 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Surya menatap kosong pada perempuan di ujung lorong itu, ingin Surya memanggilnya. Ah tidak , jika ia tahu Surya ada di sini, Surya tak mungkin hanya sanggup untuk menyebut namanya. Surya ingin memeluknya sekuat mungkin, melepaskan sagala rasa yang ada di dalam dada ini bertahun lamanya.

Setiap hari Surya melewati lorong ini, bersama seorang anak kecil berambut ikal dengan bola mata coklat, sorot matanya teduh dengn tawa renyah. Sudah seminggu ini Surya memperhatikan perilakunya yang cenderung nakal. Ia usil dan senang memecah suasana bermain di taman bermain itu dengan tangisan yang pecah dari teman-teman bermainnya.

Surya tidak salah mengenalinya, Pusphyta Ratna Dewi. Perempuan yang pernah ia puja 7 tahun yang lalu. Entah berapa lembar surat pada kertas berwarna pink kutuliskan mengenai rasanya dalam balutan puisi, puluhan kotak coklat, ratusan, gelang benang diuntai untuknya, sebagai bukti cinta Surya pada perempuan pujaanku itu.

"Arka, jangan usil dong" tegurnya dengan suara renyah, masih seindah dulu. Suara lembutnya itu tetap Surya ingat yang menenangkanku saat Surya kehilangan rasa, ketika tubuhnya menagih barang yang dalam keniscayaannya menghidupkan Surya kembali.

Surya menatapnya dan sungguh ini penyesalanku hari ini dan nanti, Surya menatap ibu dan anak itu. Kekuatan cahaya kasih mereka dengan pancarannya yang menenangkan itu membuat Surya terpana. Secara tiba-tiba perempuan itu  melihat ke arah Surya, lalu  dengan keras menarik anak yang dipanggilnya Arka itu, merengkuhnya kuat-kuat meski anak itu memberontak.

"Kita pulang sayang, kita pulang" ajaknya dengan nada memaksa. "Tidak mau Mama, arka mau main, Arka mau main" rengeknya.

Entah, ini ke berapa kali Surya harus merasakan pahit ini, Surya tidak berani maju, bahkan mengeluarkan suara.

Seminggu Surya menatap mereka sia-sia hanya karena kecerobohanku memandang mereka lekat-lekat pagi itu.

"Ayo, Arka"seretnya dengan keras dan berlari.

Batin Surya teriris, Surya ingin menangis sejadi-jadinya. Dee yang ia kenal sangat lembut menyapa dengan ramah itu dapat bertindak sekasar itu dengan anak kecil, anaknya sendiri.

"Dee, Aku hanya ingin mengucapkan, Aku tidak dapat hidup tanpamu, biarkan Aku menempati secuil saja ruang dalam jiwamu, secuil saja"Surya meraung dalam batinnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun