Ada perasaan dongkol ketika kita membesarkan putra kita di kampung yang sama dengan kita dibesarkan.
Iya, sampai detik ini saya memang tidak pernah merasakan pindah rumah, sedari lahir saya tinggal di kampung ini.
Seperti pada saat siang hari beberapa waktu lalu, saya sengaja ke lapangan sekolah dekat rumah hanya untuk memanggil anak saya buat pulang ke rumah, kata neneknya ia telah beberapa jam pergi main sepeda berpanas-panasan dengan temannya.
Kebetulan anak saya tidak pernah "pecah" puasa, dan cukup disiplin soal waktu. Jadi  sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Saya memanggilnya pulang agar jangan main panas-panasan hanyalah alasan saya saja. Mau saya, jika saya ada di rumah, dia selalu berada di dekat saya, bukan sibuk main dengan teman-temannya menggosongkan kulitnya yang memang sedari lahir tidak terang.
Saat saya memanggil biasanya saya mengomel. Mungkin karena tetangga sebel juga dengar omelan saya, saya ditegur oleh Lek Slamet, tetangga dekat  kami "Halah Nduk, kamu dulu juga sama saja, bulan puasa doyannya main di kambang (kolam) di rawa, jatuh dari sepeda setiap hari sampe gak pernah lepas handyplast paling cuma pindah tempat" omelnya.
"Masa' sih Lek?, seingat ika, ika itu anak gendut dan cengeng kok"sahut saya tertawa.
"Ya itu bener juga kok"sahutnya terkekeh.
Ah...jadi ingat ulah saya sedari kecil. Saya bukan biang kerok sih di kampung, tapi si Ragil memang suka buat istighfar Mbah-mbah yang melihat saya meluncur dari tebing curam bersepeda, lalu masuk ke got besar. Luka? Iya. Nangis ? nggaklah, paling-paling saya cuma pulang sambil terseok-seok.
Tapi jangan sampai ada yang meledek, dijahili mereka cuma bilang "weeeeeek" sambil menjulurkan lidah saja bisa membuat saya menangis kencang. Â Sampai saya digelar si Ciwek.
Hasil tangisan saya biasanya membuahkan rasa gembira di hati, karena melihat karma langsung berjalan, yang usil dengan saya langsung diomelin bahkan ada yang dipukuli bokongnya, minimal dicubit pahanya oleh si Mbah.
Mbah mana aja, bukan cuma Mbah kandung, di mata mbah-mbah saya dulu sepertinya si imut endut lucu, jadi seperti boneka yang jika menangis harus didiamkan dengan cara instan.
Tenang, yang usilin saya, (eh..yang saya usilin sih karena efek tangisan saya mereka yang kena pukul ) sekarang jadi teman-teman baik saya kok.
Memang sih mereka usianya lebih tua dari saya. Meski untuk sekarang, kami merasa sebaya.