Anak Fakultas Hukum selalu bangga dengan warna merah. Bahkan panji-panjinya atau pataka kampusnya pun menggunakan warna merah.
"Ini menunjukkan keberanian, energi yang kuat untuk mendapatkan kebenaran, sebagai lambang hukum sebagai panglima." Begitu deh kira-kira doktrin yang ditanamkan kakak kelas saat orientasi mahasiswa baru. Kita yang mendengar iya-iyain aja.Â
Sewaktu masuk kelas dan mendapat pembelajaran Pengantar Ilmu Hukum (PIH), maka dosen akan menjelaskan dulu definisi hukum yang tidak pernah usai penjelasannya itu, sampai menjelaskan jika ada 3 orang ahli hukum berdiskusi maka akan diperoleh 5 pendapat. Agree? Harus agreed ini "doktrin" yang ditanamkan di anak FH sewaktu baru duduk di bangku kuliah.
Ada teman bidang ilmu lain suka berseloroh, bagaimana hukum akan ditegakkan jika definisinya saja tidak pernah usai.
"Kamu tau puisi T.S.Elliot The Naming of Cats? Ya seperti itulah persoalannya bahkan untuk seekor kucing pun kita setidaknya menyebutnya dengan 3 sebutan." Seringkali hal ini menjadi justifikasi. "Memangnya definisi diksi itu cuma persoalan anak fakultas hukum?"
"Karena ilmu hukum itu unik dengan sui generis (kemurnian)-nya, sebagai pengembangan dari sistem skolastik," kata teman sang pemegang positivistik.
"Oh...tidak bisa, tujuan hukum sebenarnya bukan cuma mencapai kepastian, tetapi juga keadilan dan paling penting mencapai kesedapan hidup bersama. Hukum itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Tidak bisa seperti itu," jawab yang lain. Itu diskusi paling biasa ditemukan sebelum memasuki apakah akan memilih metode penelitian normatif atau empirik, meski katanya sekarang ada jalan tengah dengan socio legal studies.Â
Kekonyolan akan terjadi ketika orang dari nonhukum yang sok iyes ikutan nimbrung bicara hukum. "Jadi, ketika Anda membicarakan hal ini metode yang kamu pakai, kuantitatif ata kualitatif?"
Kalo sudah begitu, saya langsung pasang muka sedatar mungkin. Karena jika memilih menjawab salah satunya, akan bergelas-gelas kopi membahasnya.Â
Pun setelah memutuskan metode apa yang dipakai kepentok pada teori yang akan dipergunakan, salah kutip pendapat ahli, Anda dipaksa mampu menyelami isi kepala sampe sejarah ahli hukum itu. Tanggapan saya begitu lebay ya? Ha ha tapi saya yakin di luar sana banyak yang merasakan kemanisan ini.
Komen paling epic adalah: Orang hukum itu harus mampu membedakan posisinya sebagai akademisi atau praktisi, harus mampu memahami tataran paripurna ketika hukum dalam tataran idealis dan hukum dalam kenyataan.