Sudah jamak bahwa banyak yang suka berlama-lama di toilet dengan alasan mencari inspirasi, Juga bisa jadi masih tergelak jika mengingat keributan perebutan penggunaan toilet di tempat kost.
Toilet juga menjadi perlambang tepa selira, bagaimana kita memastikan pengguna setelah kita tetap merasa nyaman menggunakannnya dengan memastikan bahwa toliet yang sudah kita pergunakan sudah masih bersih tanpa meningggalkan jejak-jejakkita. Apalagi jika toilet yang dipergunakan itu unisex, bagaimana kesantunan kita juga dipertaruhkan dengan memastikan mengetuk dulu pintu dan menunggu dengahn sopan bukan langsung di depan pintu toilet.
Dalam penilaian mutu suatu institusi pun bahkan toilet menjadi penilaian,pada klausa sarana dan prasarana. Bahkan sistem pembersihan, senarai (list), borang (form) sampai penanggung jawab kebersihan dan perawatan toilet juga diperhatikan.
Juga tingkat keamanan toilet juga menjadi perhatian, termasuk di sekolah-sekolah. Belum lekang di ingatan kita kejadian kejahatan di toilet, yang saya rasa semua dapat langsung mengerti kepada peristiwa apa tanpa saya menyebutnya.
Bahkan pembersih toilet pun menjaid pekerjaan bergengsi, meskipun dilaksanakan oleh outsourching, tetapi untuk melamarnya saja membutuhkan ijasah pendidiakn menengah, yang juga digaji tentu tidak dibawah UMR. Begitu hebatnya keberadaan toilet sekarang, bukan?
Sebuah kegembiraan, bahwa apa yang menajdi keresahan para Ibu ketika berada di area publik adalah kebingungan ketika hendak buang hajat. Jika saja memang ketersediaan ini ada menjadi persoalan baru juga akan ada pos belanja baru dalam budget , selain bayar parkir juga bayar toilet.
Karena lagi semangat Kartini, seorang teman bertanya apakah kebijakan ini juga salah satu bentuk kebijakan pro gender? Dengan garuk-garuk kepala langsung bilang , bisa jadi, karena memang perempuan,juga laki-laki tentunya akan lebih nyaman untuk buang hajat. Tidak lagi dilakukan dibalik semak atau pepohonan dan pinggir saluran air.
Kebijakan ini tentunya diambil sebagai keputusan politik, he..he.. jadi boleh disebut politik toilet juga bukan. Jika dulu tidak diperhatikan sekarang menjadi perhatian penting, ya itulah toilet sama dengan kebijakan soal sport tourism. Mengapa memaksa bicara venue, jika trotoar di Palembang ini saja tidak tersedia dengan layak.
Masih ingat betul saya betapa saya gembira jalan kaki dari Tunjungan ke Taman Bungkul karena trotoarnya yang lebar dan bersih serta pedestrian friendly,saat sya diberi kesempatan gratis mengunjungi kota Soerabaia. Ah…bahkan bukan rawonnya yang saya kangeni, ketika salah satu teman FB saya yang tinggal di Surabaya mengatakan ia walking working yang mengasah empatinya karana banyak yang ia lihat, saya iri. Karena agak kesulitan bagi saya yang tinggal di Palembang, bahakan di jalan Kampung pun hak pejalan kaki direnggut dengan pengguna kendaraan bermotor yang malah marah-marah ketika kami berjalan ketakutan di pinggir-pinggir got. Belum lagi kita bicara jalur sepeda.
Meski agak shock ketika dalam pemberitaan Menpar menyatakan bahwa harus ada upaya kreatif yang luar biasa untuk mewujudkan Pilot Project Sport Tourism ini, maklum karena saya masih agak “trauma” dengan pelibatan investasi terutama developer kakap seperti “Senin Harga Naik”.
Proyek LRT ini saja sempat membuat saya bertanya-tanya mengenai Ruang Terbuka Hijau di Palembang, apa kabarnya jika ini akan ditukargulingkan dengan investor. Bicara soal pertanahan akan lebih panjang lagi, dan maaf tampaknya saya perlu ke toilet sekarang.