Kebiasaan seseorang menggunakan bahasa Indonesia baik lisan maupun tulisan dipengaruhi, antara lain oleh pola pikir atau isi pikirannya. Bila ia berpikir, bahasa Indonesia itu harus digunakan secara baik dan benar, ia akan berusaha menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sebaliknya, bila ia beranggapan, menggunakan bahasa Indonesia itu tidak perlu baik dan benar, yang penting dimengerti orang lain, ia akan seenaknya dalam menggunakan bahasa Indonesia dan tidak akan mengikuti aturan yang berlaku.
Dengan demikian, nasib bahasa Indonesia itu berada pada pikiran penggunanya. Bahasa Indonesia akan bernasib baik, dalam pengertian digunakan secara baik dan benar sehingga menjadi bahasa persatuan yang komunikatif, bila pola pikir penggunanya baik. Ia akan bernasib buruk, dalam pengertiandigunakan semaunya sehingga tidak bisa menjadi bahasa persatuan yang komunikatif, bila pola pikir penggunanya buruk.
Sayang, yang terjadi, sebagian besar pengguna bahasa Indonesia meremehkan bahasa Indonesia. Buktinya, bahasa yang sudah dideklarasikan sebagai bahasa persatuan 84 tahun lalu itu, hingga kini belum digunakan secara baik dan benar oleh seluruh bangsa Indonesia. Masih saja terjadi kesalahan yang terus diulang-ulang hingga menjadi salah kaprah.
Pada 30 Agustus 2012 saya menghadiri acara halalbihalal yang diselenggarakan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) di sekitar tempat tinggal saya di Karawang. Ketika itu, pembawa acaranya mengucapkan kalimat, Acara selanjutnya adalah penyampaian nasihat keagamaan oleh Bapak Ustaz Suherman. Waktu dan tempat kami persilakan. Kalimat ini dari sudut penataan penalaran salah. Tapi, anehnya, kalimat ini diucapkan pembawa acara hampir dalam setiap acara protokoler baik di kota maupun di desa.
Karena pembawa acaranya teman saya, usai acara saya mengoreksi ucapannya. Lalu saya menyarankan agar kalimat, Waktu dan tempat kami persilakan diubah menjadi, Bapak Ustaz Suherman kami persilakan, agar nanti ketika ia menjadi pembawa acara di tempat lain, kalimat yang diucapkannya benar. Yaitu, yang dipersilakan pembicaranya, bukan waktu dan tempat. Tapi, apa komentar teman saya itu? “Ah,yang penting ucapan saya dimengerti orang lain. Buktinya, Pak Ustaz Suherman tetap tampil memberikan ceramahnya,” katanya.
Komentar yang sama bernada menyepelekan bahasa Indonesia juga terjadi pada teman saya yang lain. Dia menulis, Kegiatan itu akan dilakukan di awal waktu. Saya katakan, sebaiknya kata depan di diganti dengan kata depan pada. Sebab, kata depan di hanya dipakai di depan kata benda yang mengandung arti tempat dan alat. Misalnya, di Jakarta, di kota, di pohon. Kata depan di jangan digunakan di depan kata benda yang bermakna waktu, manusia, dan binatang. Misalnya, di saat, di kami, di kucing. “Ah, orang pasti sudah paham apa yang saya tulis itu. Salah sedikit enggak masalah kan,” komentar teman saya..
Kesalahan menggunakan bahasa Indonesia tidak hanya dilakukan orang awam, tetapi juga para wartawan. Dalam berita daerah koran Republika edisi Jumat, 7 September 2012, saya menemukan kalimat yang dari sudut penyusunan kalimat kurang tepat. Ini kalimatnya:…untuk Pilgub nanti, diharapkan di tingkat kelurahan pun bisa mengoperasikan sistem komputerisasi tersebut. Karena ada kata depan di, kalimatnya menjadi kalimat tidak bersubjek. Maka, sebaiknya kalimat itu ditulis menjadi kalimat pasif. Yaitu,… di tingkat kelurahan pun bisa dioperasikan sistem komputerisasi tersebut.
Selain kesalahan-kesalahan di atas, masih banyak lagi kesalahan yang lainnya, seperti kesalahan pemilihan kata, kesalahan penerapan kaidah ejaan, dan kesalahan pembentukan kata. Lebih jelasnya bisa disimak buku 1001 Kesalahan Berbahasa. Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia oleh E. Zaenal Arifin dan Farid Hadi. Buku ini dicetak pertama kali di Jakarta pada 1991. Tapi, berbagai kesalahan itu masih juga terjadi hingga hari ini.
Memperbaiki Pola Pikir
Sumber kesalahan itu, seperti dijelaskan di atas, adalah adanya pola pikir yang meremehkan bahasa Indonesia. Untuk mengurangi kesalahan atau bahkan menghilangkannya, yang perlu dilakukan para pengguna bahasa Indonesia adalah memperbaiki pola pikirnya. Caranya, mereka perlu mengisi pikirannyadengan berbagai pengetahuan kebahasaan, antara lain penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Menurut E. Zaenal Arifin, bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma kemasyarakatan yang berlaku dan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku.
Dengan rumusan ini, dia mengibaratkan bahasa sebagai pakaian. Pakaian renang tentu akan dipakai pada waktu berenang. Tapi,kalau pada pertemuan resmi pakaian yang digunakan adalah pakaian resmi. Yaitu disetrika. Lalu bersepatu dan berdasi. “Akan sangat ganjil jika pakaian, sepatu dan dasi kita gunakan untuk berenang,”tulisnya.
Ya, memang kurang enak didengar, bila pada suasana formal, misalnya pada waktu memberikan materi kuliah, seorang dosen berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia santai. Misalnya, loe kudu pada getol belajar supaye pada pinter. Gue seneng bisa ketemu kamu-kamu di kuliah ini. Terdengar ganjil juga bila suasana santai di rumah, suami istri berbicara dengan bahasa Indonesia baku. Misalnya, “Bolehkah aku mengikuti setiap kegiatan Anda,” kata istri kepada suaminya. “Tentu saja. Silakan Anda lihat jadwal kegiatanku,” jawab suami. Lucu kan terdengarnya.
Jadi, pengguna bahasa Indonesia harus tahu situasi. Kalau situasinya informal, dapat digunakan bahasa gaul loe dan gue. Tapi, begitu masuk ke situasi resmi, bahasa yang dipakai harusbahasa yang sesuai dengan aturan atau kaidah yang berlaku. Bila jenuh, bisa juga diselipkan kata-kata yang tidak baku. Tapi itu pun harus dibatasi. Dalam bahasa tulisan, kata-kata yang tidak baku, seperti ketemu, membikin, dan kebawa, ditulis dengan cetak miring. Kata-kata bakunya, bertemu, membuat, dan terbawa.
Agar pola pikir pengguna bahasa Indonesia bertambah baik, maka selain diisi pengetahuan tentang tata bahasa dan penggunaannya, pikirannya juga perlu diisi dengan pengetahuan tentang sejarah bahasa Indonesiadari lahir hingga menjadi bahasa nasional. Dengan ini diharapkan tumbuh rasa cinta dan bangga terhadap bahasa Indonesia.
Bagaimana tidak cinta dan tidak bangga, bila bahasa yang kita gunakan sekarang ini lahir dari perjuangan para pemuda Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Tanpa Sumpah Pemuda pada Kongres Pemuda, 28 Oktober 1928, mungkin kita tak akan memiliki bahasa Indonesia yang menjadi bahasa negara setelah diundangkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada 18 Agustus 1945.
Mengutip pendapat Prof. Dr. Slamet Mulyana, Ras Siregar dalam bukunya Bahasa Indonesia Jurnalistik menjelaskan, ada empat faktor penyebab bahasa Melayu dijadikan bahasa Indonesia, bukan bahasa Batak, Sunda atau Ambon. Pertama,bahasa Melayu sudah menjadi lingua-franca atau bahasa perhubungan dan perdagangan di Indonesia. Kedua, bahasa Melayu itu sederhana baik dalam fonologi (ilmu tentang bunyi bahasa), morfologi (ilmu tentang bentuk bahasa), maupun sintaksis (ilmu tentang tata kalimat), sehingga mudah dipelajari. Selain itu, bahasa Melayu tidak mengenal halus kasar, seperti bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Ketiga, secara psikologis, suku Sunda dan suku Jawa yang mayoritas sudah ikhlas menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Keempat, bahasa Melayu sanggup dipakai sebagai bahasa kebudayaan secara luas.
Dengan adanya pendapat Prof. Slamet Mulyana ini, Ras Siregar menilai, para pemuda dulu itu benar-benar luar biasa. Sebab, mereka mampu memilih secara tepat bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dari bahasa Melayu, bukan dari bahasa Sunda, Jawa, atau Batak.
Satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam upaya memperbaiki pola pikir pengguna bahasa Indonesia adalah teladan dari para tokoh anutan, seperti presiden dan wakil presiden, menteri, pemuka agama, serta wartawan Kalau mereka tidak memberikan teladan dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, pola pikir pengguna bahasa Indonesia juga akan buruk. Kesan yang muncul, mungkin seperti ini, “Ah, Pak menteri juga bicaranya enggak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam berbahasa, yang paling penting dimengerti orang lain. Jadi, enggak perlu taat aturan. “
Ya, selama pola pikir para pengguna bahasa Indonesia itu buruk, dalam arti mereka menyepelekan pengggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka selama itu pula bahasa Indonesia tidak akan digunakan secara baik dan benar. Jadi, nasib bahasa Indonesia sungguh bergantung pada pola pikir para pengggunanya. (Karsono)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H