Mohon tunggu...
Karresa Esa
Karresa Esa Mohon Tunggu... Human Resources - Semakin tinggi ilmu kita, semakin tawadhu

Lahir dan besar di Bontang, Kaltim dan pernah kuliah di Sleman, Yogyakarta.. Id Facebook : Karresa Kar Id Instagram : @Karresa blog : https://duniapenablog.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pemulung di Malam Tahun Baru

31 Desember 2016   13:23 Diperbarui: 2 September 2019   13:41 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar : http://poskotanews.com/2016/09/16/

Malam menunjukkan jam 12 malam, semua orang yang masih terjaga di keramaian kota telah larut dalam hingar bingar perayaan tahun baru. Seisi kota sangat meriah, terompet bersahutan dari segala penjuru. Di jalanan begitu sesak dengan kendaraan, ditambah bunyi klakson dan knalpot yang begitu keras, Menambah suasana hingar bingar perayaan tahun baru. Aku pun ikut merayakan dengan mengambil kaleng-kaleng sisa minuman yang begitu menumpuk di pinggir jalan. Dengan langkah malu-malu  ku tetap berjalan melawan hiruk- pikuk keramaian kota untuk memunguti kaleng-kaleng yang berserakan dimana-mana. Mengenakan pakaian yang lusuh sangat berbeda dari kerumunan orang-orang berpakaian modis ala kekinian, membuat langkahku terhenti sejenak dan berpikir ulang untuk menghentikan aktifitas rutinku setiap malam menjelang.

Akhirnya aku berlari ke gang sempit untuk menghindari keramaian, kemudian ku beristirahat sejenak. Hawa dingin menusuk hingga ke tulang-tulangku, mata pun tersayup-sayup sembari memandangi lampu-lampu kota yang menyilaukan kedua mataku. Silau  lampu itu menyadarkanku akan tetap terjaga dari malam yang begitu ramai dan mencoba mempertahankan pandanganku yang tertuju pada kaleng-kaleng bekas yang begitu banyak menumpuk di keramaian kota. Ada pertempuran di dalam batinku, melanjutkan rutinitas ku sebagai pemulung atau menghentikan rutinitas ku untuk hari ini saja. “Kalau ku menghentikan rutinitas ku hari ini saja, ku gak akan mendapatkan banyak kaleng sisa perayaan tahun baru ini, kalau ku menunggu orang-orang pulang ku tidak tahu pastinya dan keburu ngantuk”, gumamku dalam hati. Kemudian ku larut dalam renungan malam.

Setiap tengah malam, aku harus menunaikan kewajibanku sebagai pemulung. Aku ambil kaleng demi kaleng dan menaruh  di dalam karung goni yang ku bawa dari rumah. Demi mengais rezeki, menyambung hidup yang semakin hari semakin sulit, ini lah rutinitas ku yang telah diwarisi oleh keluargaku. Kemiskinan seperti penyakit menurun yang selalu membayangiku sampai dengan anak  cucuku nanti. Ya tetapi itulah hidup, hidup ibarat roda yang sedang berjalan, ada saatnya kita diatas dan ada saatnya kita dibawah. Terlepas dimana posisiku ketika roda kehidupan berputar, aku selalu tetap bersyukur apa yang telah diberikan sang Khalik terhadap hambanya.

Kemiskinan seperti penyakit yang menurun. Sebagian besar penyakit memiliki obat atau penawar rasa sakit untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Begitu juga kemiskinan yang keluarga saya alami dari generasi kakek saya sampai dengan generasi saya sebagai cucunya. Obat kemiskinan yang ditanamkan oleh kakek saya hingga ke generasi saya adalah “Bersyukur”. Kakek saya pernah berkata, “Perbuatan yang menuntun kita senantiasa menyingkirkan sisi negatif dalam kehidupan adalah bersyukur”. “Bersyukur mendorong kita untuk bergerak maju dengan penuh antusias. Tak ada yang meringankan kehidupan mu selain sikap bersyukur”. “Semakin kita bersyukur, semakin banyak hal-hal yang kita terima. Sebaliknya, semakin banyak kita mengingkari, semakin banyak beban yang kita tanggung”. Begitu bijak kakek saya, sampai saat ini walaupun saya miskin tetapi tidak pernah merugikan orang lain.

20 menit berlalu merenungkan rutinitas ku sembari mengingat perkataan kakek ku yang cukup bijak. Akhirnya saya memutuskan untuk memberanikan diri menuju keramaian dari gang sempit tempat ku merenung. Dengan pakaian lusuh bermodalkan karung goni nampak gagah bak pahlawan dari kaum yang terpinggirkan, langkah demi langkah percaya diri, ku pungutin kaleng-kaleng bekas yang ada disekitar lautan manusia yang sedang larut dalam perayaan tahun baru. Tidak sedikit yang menertawakan pekerjaan ku sebagai pemulung kaleng bekas di malam tahun baru, akan tetapi mentalku bagaikan karang besar yang tetap kokoh dihantam kerasnya ombak. Tidak ku hiraukan, hanya kaleng-kaleng bekas yang ku hiraukan.

Bukannya saya bangga memiliki identitas sebagai pemulung, tetapi saya bangga terhadap apa yang sudah digariskan lahir dari keluarga pemulung oleh sang khalik. Tidak perlu menutupi identitas kita ditengah-tengah orang yang memiliki strata sosial di atas kita. Karena setiap pekerjaan yang halal dengan bobot sekecil apapun pasti berguna bagi orang lain. 

Aku, Pemulung kaleng-kaleng bekas pun memiliki harapan untuk tahun baru ini. Harapan ku adalah penyakit turun menurun (kemiskinan) dari generasi kakek ku akan terkikis dengan usaha ku di tahun baru ini dalam merubah ekonomi keluarga, tentunya dengan jalan yang halal. Dan satu lagi, obat atau penawar rasa sakit (bersyukur) yang ditanamkan oleh kakek ku, terus memupuk di jiwaku hingga sukses nanti. Obat itu nikmat kawan, jangan sampai kepuasan kita tidak terbatas dalam memenuhi kebutuhan hidup karena itu mendekatkan diri kita kepada tindakan yang buruk.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun