Sosok seorang lelaki yang ku kenal selama aku hidup belasan tahun ini, hingga saat ini umurku mencapai 19 tahun pada bulan maret kemarin. Beliau adalah orang yang tegar dan tak kenal kata lelah. 29 tahun yang lalu tepat saat menempuh pendidikan di bangku perkuliahan, beliau rela kuliah part time sebagai pegawai honorer di sebuah bank negeri yaitu BNI 46. Selama 4 tahun menjalani kegiatan rutin sebagai mahasiswa sekaligus karyawan tidak tetap. Jarak Yogyakarta dengan daerah asalnya yang terbilang cukup jauh, membuat bos dari bank BNI merasa trenyuh hatinya sehingga ia memberikan penawaran untuk tinggal bersama dia. Beliau menumpang di rumah sang bos gratis tanpa pungutan biaya dan mendapat jatah makan harian. Namun terdapat syarat yang harus dipenuhi yaitu mengantar jemput puteranya yang masih berstatus siswa SD tersebut.
Sejak kecil beliau dibesarkan bersama ketujuh saudaranya di desa Bugel, kecamatan Srandakan kabupaten Kulon Progo. Begitu pelosoknya desa itu hingga banyak orang yang tak mengenal. Namun jangan salah, tempat tinggal beliau tak jauh dari pantai Trisik. Salah satu pantai yang berada di KulonProgo selain pantai Glagah. Tak heran jika masyarakat di sana menggantungkan hidup dari kekayaan pantai tersebut. Kebanyakan mereka menjadi buruh tani yang dipekerjakan untuk menanam berbagai macam benih. Begitu pula beliau, saat kecil ia amat giat dalam membantu orangtuanya untuk mengais rejeki.Masyarakat pesisir pantai sering mendapat tawaran untuk penambangan pasir besi. Namun mereka menolak yang tertuang dalam spanduk di akses jalan masuk pemukiman, dengan gencarnya mereka menyatakan "Menolak keras tambang pasir besi! Lebih baik buruh tani!".
Sulitnya untuk mendapat penghasilan menyebabkan orangtua beliau membagi 1 telur dadar untuk ketujuh orang anaknya. Betapa mirisnya dan betapa menderita kehidupannya saat itu. Rumah yang beliau tempatipun amat jauh jika dibandingkan dengan rumah modern masa kini. Saat inipun rumah yang dulu menjadi saksi tumbuh kembang beliau, masih berdinding bambu, orang Jawa biasa menyebutnya “gedhek” dan beralaskan pasir pantai. Rumah itu ditempati oleh kakak tertua beliau setelah ibu beliau kembali pada Tuhan menyusul sang suami pada tahun 2007 lalu. Seorang tetangga yang tersentuh hatinya merekomendasikan rumah tersebut untuk diperbaiki. Salah satu program pemerintah untu mensejahterakan rakyat miskin. Bahkan tetangga inipun telah mendokumentasikan rumah tersebut dari berbagai sudut pandang : depan, belakang, samping kanan dan samping kiri. Kamar mandi luarpun tak kalah menyedihkan. Ember hitam yang difungsikan sebagai bak mandi. Dinding dan pintu kamar mandipun terbuat dari bambu. Tak dapat ku bayangkan saat mandi terdapat orang yang jail, begitu mudahnya untuk melihat siapa orang yang berada di dalamnya. Semua berkas telah dilengkapi, namun lagi-lagi masih menunggu hasil akhir. Belum tentu pengajuan tersebut disetujui oleh pemerintah setempat. Jikalau berhasil disetujui maka dana yang akan cair sebesar Rp 10.000.000,00 yang dapat digunakan sebagai modal. Pengerjaan bongkar rumah tersebut dengan cara gotong royong warga sekitar.
Hidup secara sederhana semenjak kecil membuat beliau menjadi seorang pekerja keras. Tahun 1990 beliau dinyatakanlulus sebagai mahasiswaS1 jurusan Filsafat dan menikah dengan seorang gadis yang tak sengaja beliau kenal saat di dalam bus. Untuk biaya hidup setelah menikah, beliau menjadi penjual mie ayam keliling ditemani sang isteri tercinta. Tak hanya itu, beliau juga berwirausaha sebagai penjual criping pisang dan pembuat nata de coco.
Jerih payah beliau membuahkan hasil yang manis. Dengan berjualan keliling dan usaha lain, beliau dapat membeli sebuah sawah yang kini berubah menjadi sebuah rumah yang kami tempati. Surat lamaran beliau diterima oleh perusahaan swasta dan sampai kini bekerja di sana. Manager perusahaan begitu kasih padanya hingga ia menjadi kaki tangannya. Dan menimbulkan rasa iri di hati pekerja lain. Pekerja itu bersiasat menjebak beliau, sehingga seakan-akan beliau salah. Jabatan yang beliau tekuni selama belasan tahun dicopot secara tak hormat. Fitnahan yang tak pernah ia lakukan, berakibat beliau turun pangkat. Namun memang benar, tak selamanya kejahatan menang. Tuhan pasti akan turun tangan menyatakan kebenaran. Orang yang menfitnah beliau pun akhirnya mendekam dalam penjara. Beliau tak lain dan tak bukan adalah bapakku.
Tulisan di atas hanyalah sepenggal kisah perjalanan beliau, semoga bermanfaat. Terus semangat dan pantang menyerah dalam mengarungi hidup ini, niscaya nantinya akan berbuah manis yang dapat kita petik hasilnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H