Mohon tunggu...
Kar Noto
Kar Noto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Presiden Rumah Inspirasi di Brebes, Jawa Tengah. Mobile 08179852173

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Sujiah, Guru di Suku Pedalaman Baduy

26 November 2013   10:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:40 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perasaan takut, was-was, cemas dan ingin berhenti dari profesinya sebagai relawan pendidikan, pernah dirasakan oleh Sujiah, wanita kelahiran Yogyakarta, ketika pada tahun 1978, saat mendapatkan tugas dari pemerintah untuk mengajar di Kanekes, sebuah perkampungan suku Baduy, di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

“Dulu waktu pertama kali saya tiba di Kanekes, suasananya masih sepi dan hanya beberapa pasang mata yang berpapasan dengan saya ketika hendak mengajar ke sekolah di SDN I Ciboleger,” tutur wanita yang bersahaja ini dengan pikiran membayangkan 30 tahun lalu. Kini, di usianya yang ke-53 tahun, Sujiah melihat sudah banyak perkembangan nyata baik

keramaian maupun pola pikir masyarakat. Berbeda dengan ketika Sujiah mengajar puluhan tahun lalu. Wanita beranak satu ini menceritakan pengalamannya ketika awal-awal ditempatkan di daerah Banten selatan ini.Jika diterjunkan oleh pemerintah 30 tahun lalu, Sujiah masih gadis dan berusia sekira 24 tahun. Selama dua hari mengajar di perkampungan suku Baduy, Sujiah dibayangi rasa takut dan kejenuhan. Maklum, jarak antara rumah dengan sekolah saat itu hampir 8 kilometer dan hanya dapat ditempuh dengan perjalanan kaki, karena saat itu tidak ada kendaraan ataupun ojek. Dan yang membuat perasaan wanita berkerudung ini ngeri adalah berpapasan dengan orang Baduy yang selalu membawa golok disebelah sisi kanan badan. Selain itu, penampilan suku Baduy ini pun dianggap aneh bag

i Sujiah yang terbiasa dengan pakaian umum.“Setiap mau mengajar saya berpapasan dengan orang Baduy yang membawa golok. Pokoknya ketika itu saya takut, khawatir dan ingin berhentimenjadi guru dan kembali ke Yogyakarta,” akunya.Namun, berkat kesabaran dan semangat ingin mengabdikan diri kepada bangsa dan negara. Sujiah akhirnya bertekad untuk tetap bertahan di daerah pedalaman ini. Hingga selama berpuluh-puluh tahun, akhirnya Sujiah terbiasa dan menikmati profesinya sebagai relawan pendidikan di perkampungan Baduy.


Bahkan, ia sudah tidak takut lagi berpapasan dengan suku Baduy. Justru, Sujiah merasakan persaudaran dengan orang-orang Baduy yang masih kental memegang adat istiadat. Kini, di tahun 2008, Sujiah sudah bisa melihat jerih payahnya menjadi relawan pendidikan. “Alhamdulillah, sekarang mah sudah ada anak orang baduy yang sudah lulus sekolah dan bekerja ke Jakarta,” katanya dengan raut muka yang berbinar.


Ketika ditanya pengalaman unik ketika mengajar anak keturunan suku Baduy, Sujiah mengaku ada perbedaan. Kata wanita sederhana ini, pola belajar anak Baduy cenderung ingin kebebasan tidak seperti anak-anak pada umumnya. “Kalau anak Baduy belajarnya sesukanya. Jadi, kalau ingin pulang dia pulang tanpa izin dan takut dengan guru, meskipun jam pelajarannya belum selesai,” katanya seraya mengutarakan rasa harunya ketika diminta untuk menceritakan kenangan masa lalu itu.

Di tahun 2008, Sujiah bisa sedikit tersenyum karena mendapatkan bantuan opersional sekolah (BOS). “BOS ini sangat membantu sekali terutama untuk membayar para relawan lainnya,” katanya. Kini, siswa SDN I Cibologer yang berada di perbatasan dengan suku Baduy luar, ini memiliki siswa 300 anak lebih. Kondisi ini berbeda ketika pada tahun 70 atau 80 an lalu, dimana siswa yang sekolah hanya 20-30 anak. “Itupun harus belajar di tengah kondisi sekolah yang memprihatinkan, karena bangunan masih semi permanen dan diapit perbukitan. Maklum, saat itu desa ini belum banyak rumah orang luar Baduy seperti saat ini, yang ada hanyalah suku Baduy dengan rumah khasnya,” ujarnya.
Ada satu lagi yang masih terkenang di pikiran Sujiah, yaitu ketika ia merayu orang Baduy untuk bersekolah. “Waktu itu saya suka nangga (bertetangga) ke rumah orang Baduy luar, untuk mengajak sekolah. Tapi, ditanggapi dingin oleh orangtua mereka karena menurut adat Baduy sekolah itu pamali sehingga tidak diperbolehkan,” tuturnya. Sampai saat ini pun, anak-anak Baduy belum boleh sekolah karena aturan adat. “Yah, namanya adat kita agak sulit kecuali orang Baduy sendiri yang meminta. Makanya sekarang juga tidak ada orang Baduy yang sekolah,” katanya. Namun, meski tidak sekolah formal tapi banyak anak-anak Baduy yang main ke sekolah ketika jam pelajaran. “Mereka cuma ngintip anak-anak yang sekolah dari balik jendela,” katanya.
Selamat Berjuang wanita perkasa, semoga akan lahir Sujiah-Sujiah di nusantara, amin

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun