Mohon tunggu...
Kar Noto
Kar Noto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Presiden Rumah Inspirasi di Brebes, Jawa Tengah. Mobile 08179852173

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menjadi Politisi Pembelajar

8 Oktober 2013   05:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:51 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belajar adalah suatu proses dimana pengalaman akan membawa perubahan pengetahuan, sikap atau perilaku

--Blackwell dan Miniard---

Belajar adalah suatu proses berkelanjutan, demikian dikatakan Ujang Sumarwan dalam buku Perilaku Konsumen. Meski tidak membasa tentang belajar politik, tetapi secara maknawiyah tidaklah jauh berbeda dengan belajar politik. Sedikit memperjelas apa yang dikatakan Sumarwan bahwa seseorang tidak akan menemui titik akhir untuk belajar, karena sifatnya yang kalau dalam bahasa Arab disebut istimroriah (berkesinambungan). Dan ini sejalan dengan ajaran Islam yang memerintahkan kita agar belajar dari buaian hingga ke liang lahat. Belajar yang dimaksudkan di sini tentu bukan hanya belajar di sekolah resmi seperti SD, SMP, SMA atau perguruan tinggi. Institusi pendidikan di atas merupakan bagian dari proses belajar iya, tetapi ruang dan tempat belajar tidak disekat oleh dinding sekolah atau kampus. Bahkan menurut Sumarwan, belajar terkadang tanpa sengaja kita lakukan karena berjalan alamiah.

Itu makanya Al Qur’an dalam surat pertama yang turun yaitu Iqro, artinya bacalah!. Baca di sini tentu bukan hanya teks tetapi konteks, seperti membaca fenomena sosial, membaca gerakan bumi dan planet ruang angkasa, membaca prediksi perekonomian termasuk membaca gaya perubahan gerakan politik yang kontemporer. Dalam tulisan kali ini saya lebih konsen tentang bagaimana menjadi politisi pembelajar. Kalau Andrias Harefa menulis buku berjudul menjadi manusia pembelajar maka sebagai perempuan yang terjun dalam politik sejak di kampus saya ingin menggoreskan tinta tentang politisi pembelajar.

Alasan yang paling utama saya adalah karena telah terjadi perubahan yang luar biasa pada kondisi sosial politik di Indonesia, terutama sejak runtuhnya rezim orde baru yang beralih ke orde reformasi. Sebagai generasi yang dilahirkan di alam reformasi maka saya memiliki tanggungjawab moril untuk memberikan pencerahan akan makna politik. Tujuannya adalah supaya generasi sah pewaris negeri ini tidak menjadi politisi jadi-jadian apalagi politisi ngesot. Saya bersyukur karena memiliki kesempatan mendapatkan modal teori dan permainan politik di lapangan riil saat di kampus, sehingga saat terjun di ranah politik murni saya tidak kelimpungan karena lebih siap.

Belajar politik telah banyak memberikan arahan, pencerahan dan amunisi mental akan makna politik yang sesungguhnya. Kekeliuran sebagian orang yang menilai bahwa politik semata-mata hanya bicara soal kekuasaan, tidak mengganggu pikiran dan alam bawa sadar saya untuk terus berbuat melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Daurah marhalah (training berjenjang) yang saya terima paling tidak “memaksa” saya untuk terus belajar tentang politik. Ada beberapa hal yang mesti kita ketahui ketika bicara mengenai belajar sebagaimana dikatakan Sumarwan dalam bukunya “Perilaku Konsumen”. Meski tidak membahas politik tetapi saya merasakan tidak ada perbedaan yang mencolok teori ini dengan kondisi politik di lapangan saat ini.

Pertama, belajar adalah suatu proses yang berkelanjutan. Selera konsumen dalam hal ini pemilih selalu berubah-ubah setiap waktu. Wajar kalau kemudian banyak para anggota Dewan yang tidak terpilih lagi karena mungkin enggan belajar atau sudah merasa sudah memberikan “uang recehan” sehingga disangka aman. Padahal, masyarakat saat ini sudah cerdas tentang politik. Beberapa kali pengamatan, seringnya warga lebih pintar berpolitik daripada calon itu sendiri.

Kedua, pengalaman memainkan peranan dalam proses belajar. Jadi, konstituen atau warga di daerah pemilihan dimana seseorang terpilih akan menghukum lebih kejam dan menyakitkan. Ketika seseorang terpilih menjadi anggota Dewan lalu melupakan jerih payah pemilih atau baru peduli jelang pemilu maka mereka akan menerima belas dendam. Dan belas dendam mereka terkadang lebih kejam dari apa yang kita bayangkan. Sebab, mereka tidak langsung “membunuh’ karir Anda ketika hadir di saat menjelang pemilihan lagi, tetapi mereka akan “membunuh” secara perlahan-lahan reputasi Anda di dunia politik. Mereka akan mempermalukan di depan umum dan ini dianggap wajar sebagai bentuk balas dendam mereka atas perlakuan yang selama ini diterima.

“Pembunuhan” karir yang saya maksudkan adalah bukan mereka menolak setiap pemberian atau kunjungan Anda, tetapi mereka akan menerima pemberian, hadiah atau permintaan tapi soal pilihan mereka sudah menentukan jauh-jauh hari. Dan biasanya karena posisi calon yang serba sulit karena mendekati pemilihan umum memaksa untuk memenuhi segala yang dibutuhkan, mulai paving blok, hadiah sarung atau baju koko, uang saku atau materi lainnya. Padahal, tidak ada yang menjamin hati mereka soal keperbihakannya. Begitu pada akhir “pertempuran” sang calon baru tahu kalau dirinya sedang dihukum. Sang calonpun menangis, meratapi dan tidak jarang yang memaki warga yang selama ini diharapkan tetap setia untuk memilihnya. Inilah yang sering terjadi saat ini, dimana masyarakat sering dibohongi dan logika orang yang dibohongi maka akan kembali membohongi. Jadi, siap-siaplah Anda yang sudah terpilih menjadi wakil rakyat akan menerima hukuman itu jika selama ini melupakan konstituen dan baru sok perhatian, sok penyayang, sok dermawan ketika menjelang pemilu.

“Perhatian jelang kampanye, selama ini kemana?,”demikian komentar salah seorang warga kepada saya saat keliling desa yang mengaku kecewa. Ternyata, warga cukup cerdas mengkalkulasikan angka-angka politik di lapangan dan seperti yang saya sebutkan diatas bahwa hitung-hitungan politik warga terkadang lebih pintar dari calon itu sendiri, sehingga mereka memiliki kecenderungan untuk memilih orang baru yang membawa sesuatu baru pula. Orang baru dianggap lebih mengerti, perhatian dan memiliki semangat untuk memperbaiki keadaan dengan tulus. Dan secara psikologis, harapan besar sering dipercayakan terhadap orang baru ketika yang lama cukup membosankan. Di sinilah saya belajar tentang politik dalam arti luas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun