"Pantun di Pidato Pejabat: Tren atau Tradisi?"
Oleh Karnita
Pantun: Jejak Karya Sastra Lisan yang Abadi
Siapa yang tak kenal pantun? Sejak zaman dahulu, pantun telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Melayu, khususnya di Indonesia. Ingatkah Anda dengan pantun-pantun yang sering diajarkan di sekolah dasar, seperti:
Asam kandis asam gelugur,
Kedua asam riang-riang,
Menangis mayat di pintu kubur,
Teringat badan tidak sembahyang.
Pantun ini penuh makna, mengajarkan pentingnya menjaga ibadah. Namun, tahukah Anda bahwa pantun itu sendiri adalah bentuk seni yang kaya akan nilai budaya?
Pantun, yang terdiri dari empat baris dengan rima a-b-a-b, bukan hanya sekadar permainan kata, melainkan media penyampaian pesan yang mendalam. Dua baris pertama sebagai sampiran, sementara dua baris terakhir menyampaikan inti pesan yang ingin disampaikan. Keunikan pantun terletak pada sampiran yang tidak selalu berhubungan langsung dengan makna, namun berfungsi sebagai pembuka yang menyertai melodi atau irama pantun tersebut.
Selain pantun, ada juga karmina---pantun yang lebih ringkas dengan dua baris dan rima a-a. Biasanya, pantun jenis ini digunakan dalam situasi santai atau untuk ungkapan spontan:
Ranting patah tolong singkirkan,
Jika ada salah mohon dimaafkan.
Pantun dan karmina lebih dari sekadar hiburan. Mereka adalah saluran untuk berbagi nilai kehidupan, kebijaksanaan, dan mengingatkan kita akan pentingnya budaya Indonesia. Yuk, mari kita bahas lebih lanjut!
Fenomena: Mengapa Pejabat Sering Membaca Pantun?
Kini, pantun sering dibacakan oleh pejabat atau masyarakat dalam sambutan atau pidato untuk memberikan nuansa yang hangat dan akrab. Pembukaan dengan pantun yang ringan sering kali mengundang tawa, mencairkan suasana, dan membuat audiens merasa lebih terhubung. Tak jarang, pendengar spontan merespons dengan teriakan "CAKEPPP!", menciptakan suasana yang lebih hidup. Pantun yang relevan dengan topik acara juga memudahkan audiens untuk lebih mudah masuk ke dalam pembicaraan. Sayangnya, sering kali pantun yang dibacakan tidak sesuai dengan kaidah aslinya.
Contoh pantun yang salah kaidahnya:
Di tengah sawah ada lembu,
Lembunya sedang memakan rumput,
Kalau kamu ingin lucu,
Jangan terlalu sering cemberut.
Padahal, pantun yang benar memiliki rima a-b-a-b, seperti ini:
Ada lembu di tengah sawah,
Lembunya sedang makan rumput,
Jangan bergaya hidup mewah,
Hasil korupsi, aparat akan jemput.