Pagar Laut: Melindungi Pesisir atau Justru Menambah Masalah?
Oleh Karnita
Pernah dengar berita tentang pagar laut yang tiba-tiba muncul di pesisir Tangerang? Pagar sepanjang lebih dari 30 kilometer yang terbuat dari bambu dan karung pasir ini menghebohkan banyak orang. Tujuan pembangunannya sih untuk melindungi wilayah pesisir dari abrasi. Tapi, yang bikin heboh adalah kenyataan bahwa pagar ini dibangun tanpa izin dan malah menghalangi akses nelayan yang sudah bertahun-tahun mencari nafkah di area tersebut! Duh, apakah pagar laut ini jadi solusi untuk melindungi pesisir atau justru jadi ancaman bagi masyarakat pesisir?
Pembangunan Pagar Laut: Solusi atau Kontroversi?
Pembangunan pagar laut bukanlah hal baru di Indonesia. Sudah sejak dekade 1980-an, misalnya, Jakarta membangun pagar laut di kawasan Ancol untuk mencegah erosi yang merusak pantai. Bali pun tak mau ketinggalan, dengan pagar laut di Nusa Dua dan Sanur pada tahun 1990-an. Kota-kota pesisir lain seperti Surabaya, Makassar, dan Batam juga ikut serta dalam pembangunan pagar laut. Semua demi melindungi kawasan pesisir yang semakin berkembang, baik untuk pariwisata maupun industri.
Namun, meskipun tujuan awalnya untuk melindungi pantai dari ancaman alam, dampak dari pembangunan pagar laut terhadap masyarakat pesisir kerap kali terabaikan. Ambil contoh di Bali, pagar laut yang dibangun untuk melindungi kawasan wisata malah membuat nelayan tradisional kehilangan akses ke laut, sumber penghidupan mereka. Tak hanya di Bali, kota-kota pesisir lainnya juga menghadapi masalah serupa, di mana keberadaan pagar laut justru memperburuk keadaan bagi masyarakat lokal.
Dampak Ekologis: Apa yang Terjadi pada Alam Kita?
Salah satu kasus terbaru terjadi di Tangerang, di mana pagar laut ilegal dibangun tanpa izin. Pagar yang terbuat dari bambu dan karung pasir ini bertujuan untuk melindungi wilayah pesisir dari abrasi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Nelayan yang biasa mencari nafkah di kawasan tersebut terhalang oleh keberadaan pagar yang mengganggu jalur mereka. Ketegangan pun terjadi, karena warga pesisir merasa akses mereka terampas tanpa ada dialog sebelumnya.
Masalah ini semakin rumit setelah ditemukan bahwa pagar laut di Tangerang tersebut dibangun tanpa izin resmi dari pemerintah setempat, menjadikannya ilegal. Selain menghalangi aktivitas nelayan, pagar laut juga merusak ekosistem pesisir yang seharusnya terbuka bagi publik, seperti perikanan dan pariwisata. Hal ini memperburuk ketegangan antara masyarakat pesisir dan pihak yang mengklaim hak atas wilayah tersebut.
Dampak ekologis dari pembangunan pagar laut juga patut diperhatikan. Meski pagar laut dapat mengurangi erosi pantai, seringkali pagar ini justru mengganggu aliran air dan distribusi sedimen yang seharusnya membantu kesuburan ekosistem pesisir. Akibatnya, terumbu karang yang menjadi habitat biota laut pun terancam rusak. Ini tentu saja berdampak pada kehidupan nelayan yang bergantung pada ekosistem tersebut untuk mencari nafkah.
Selain itu, distribusi sedimen yang terhambat oleh pagar laut dapat mengurangi kesuburan tanah di pesisir. Kerusakan ekosistem pesisir ini tentu saja tidak hanya merugikan kehidupan biota laut, tetapi juga berdampak pada mata pencaharian masyarakat pesisir yang mengandalkan hasil laut sebagai sumber utama pendapatan mereka.