Menyelami Keprihatinan Bangsa dalam Puisi
Oleh Karnita
Orang-orang harus dibangunkan. Kesaksian harus diberikan. Agar kehidupan bisa terjaga. Demikian tegas Rendra dalam puisi yang ditulisnya tahun 1974. Isinya masih relevan untuk dijadikan renungan dan kritikan terhadap realitas keperihdatinan bangsa saat ini. Terlebih lagi, di tengah persoalan dan keperihatinan bangsa yang makin kompleks dan mengakar. Warga bangsa perlu digugah kesadarannya melalui berbagai cara dan media agar kita memahami relung-relung masalah bangsa yang dihadapi, realitas yang terjadi, dan kesanggupan untuk mengatasinya secara kolektif.
Salah satu media untuk menggugah kesadaran kita adalah puisi. Benar kata Taufik Ismail: /dengan puisi aku mengutuk/ nafas zaman yang busuk/. Buramnya potret bangsa ini seperti yang ditulis Taufik Ismail dalam puisi "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia", patutlah dijadikan introspeksi kita. Beberapa larik puisinya berbunyi, //Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak, hukum tak tegak, doyong berderak-derak. Dinegeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu. Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan. Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu, dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari. Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak putus dilarang-larang. Di negeriku dibakar pedagang jelata supaya berdiri pusat belanja modal raksasa. Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi//.
Dalam puisi "Bayi Lahir Bulan Mei 1998", Taufik Ismail menyindir pemerintah yang gagal membangun kemandirian bangsa. Alih-alih mengurangi utang, malah makin getol berutang kepada luar negeri, antara lain ke Bank Dunia dan negara-negara donor. Coba renungkan bunyi larik-larik puisinya: //Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tangga/ Suaranya keras, menangis berhiba-hiba/ Begitu lahir ditating tangan bidannya/ Belum kering darah dan air ketubannya/ Langsung dia memikul hutang di bahunya/ rupiah sepuluh juta//.
Indonesia merupakan negara agraris. Ironisnya, kaum petani sebagai garda depan di bidang ini nasibnya sangat menyedihkan. Pencanangan Revitalisasi Petani oleh pemerintah hanya terhenti di atas kertas dan seremoni belaka. Sementara kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang ini kurang mencerminkan keberpihakannya terhadap kaum petani, antara lain tingginya harga pupuk, rusaknya infrastruktur irigasi, rendahnya harga gabah petani, dan kebijakan membuat keran impor beras secara besar-besaran. Jerit tangis, duka lara, dan gerak lunglai kaum petani tergambar jelas dalam puisi Rendra, "Sajak Burung-burung Kondor": //Angin gunung turun merembes ke hutan, lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas, dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau. Kemudian hatinya pilu/melihat jejak-jejak sedih para petani -- buruh/ yang terpacak di atas tanah gembur/ namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya//. Pada bait lain, ia menulis: para tani-buuruh bekerja, berumah di gubug-gubug tanpa jendela, menanam bibit di tanah yang subur, memanen hasil yang berlimpah dan makmur, namun hidup mereka sendiri sengsara//.
Kritik tentang program riuh-rendahnya pariwisata di Bali khususnya yang mengeksploitasi kebudayaan dan produk-produk kesenian yang telah kehilangan esensinya dan jiwanya terekam jelas dalam puisi "Sajak Pulau Bali". Bunyi larik-larik puisinya: //Kebudayaan rakyat ternoda/digencet standar dagang internasional//. Tarian-tarian bukan lagi mantra, tetapi hanya sekedar tontonan hiburan. Pahatan dan ukiran bukan lagi ungkapan jiwa, tetapi hanya sekedar keranjinan tangan//.
Segunung persoalan bangsa seperti (a) mengakar dan mengguritanya praktik korupsi di berbagai sendi kehidupan bangsa; (b) kentalnya aroma kolusi dan nepotisme; (c) melambungnya angka pengangguran dan kemiskinan; (d) sering terjadi pencurian ikan (illegal fishing), (e) tingginya pembalakan kayu (illegal logging); (f) perjudian dan narkoba semakin menggejala; (g) berkurangnya cadangan sumber daya alam; (h) parahnya kerusakan lingkungan hidup termasuk krisis energi, pangan, dan air; (i) eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali; (j) rendahnya daya saing bangsa; (k) tingginya konflik-konflik horizontal-vertikal di masyarakat; (l) tercerai berainya pemimpin dan elite politik; (m) lemahnya internalisasi pendidikan karakter; (n) dekadensi moral, kriminalitas, dan sikap antisosial makin tinggi; (o) makin hilangnya kredibilitas pemerintah; dan (p) ketidakberpihakan pemerintah terhadap rakyat.
Bertitik tolak dari permasalahan di atas, kebangkitan suatu bangsa memerlukan suatu kesetiaan, komitmen, dan kepercayaan (trust). Kesetiaan dan kepercayaan sebagai suatu unsur perekat eksistensi bangsa yang punya rasa ikatan nasionalisme. Bangsa kita belum dapat menumbuhkan rasa saling percaya di semua tingkat dan lingkungan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sejarawan, Ahmad Syafi'i Maarif (Republika, 14/8/07), meyakinkan, sikap saling tidak percaya (mutual distrust) mesti dihilangkan jika bukti menunjukkan bahwa cukup alasan untuk saling percaya (mutual trust). Tetapi juga harus ditunjukkan melalui sikap apresiastif terhadap segala usaha dan prestasi yang baik, siapapun yang melakukan: pemerintah atau masyarakat.
Persoalan bangsa yang kompleks tersebut mustahil bisa dituntaskan dengan baik bila warga bangsanya tidak memiliki semangat dan jiwa kepahlawanan. Jiwa rela berkorban untuk negeri, menghilangkan egosentrisme sempit kedaerahan, berani, gigih, bersatu padu, tanpa pamrih, dan semangat membangun bangsa. Reformasi mental semua warga bangsa (pemimpin bangsa, elite politik, cendekiawan, pemuka agama, tokoh masyarakat, kalangan pengusaha, guru, pemuda, dan rakyat) mendesak dilakukan. Benar kaata Rendra, //Orang-orang harus dibangunkan. Kesaksian harus diberikan. Agar kehidupan bisa terjaga//.
Kita merindukan pahlawan seperti yang ditulis Sapardi Djoko Damono dalam puisinya, /telah berjanji kepada sejarah untuk pantang menyerah/. Kita merindukan gelora semangat Diponegoro di era pembangunan ini terejawantahkan dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa. //Di masa pembangunan ini, tuan hidup kembali. Dan bara kagum menjadi api/ sekali berarti, sudah itu mati//. Begitu kata Chairil Anwar dalam puisinya untuk mengenang kepahlawanan Pangeran Diponegoro. Para pahlawan, kata Sayyid Quthub, "Orang yang hidup bagi dirinya akan hidup sebagai orang kerdil dan mati. Akan tetapi, orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang lain." Semuanya berpulang kepada diri masing-masing. Kita berharap, momentum Hari Pahlawan 2011 dapat menjadi semangat juang yang dapat digelorakan, direfleksikan, dan diwujudkan secara konkret dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tanpa daya juang semua warga bangsa, sulitlah kiranya kita dapat melepaskan diri dari belenggu keperihatinan bangsa. Mustahil kita dapat berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang berperadaban maju. Sebaliknya, mungkin kita akan semakin akrab dan tetap terpuruk dengan lautan kemiskinan yang terbentang luas dan menghimpit mereka yang tak berdaya. Wallahu a'lam.