Menularkan Virus Kejujuran Susu Kambing
Oleh Karnita
Ada sebuah kisah yang mencerminkan kejujuran dan sangat paradoks dengan realitas bangsa kita saat ini. Abdullah bin Mas'ud, sahabat Rasulullah yang pertama kali piawai mengumandangkan Al Quran dengan suara merdu ini, telah menunjukkan kejujurannya yang mengagumkan di usia masih remaja. Ketika itu, Rasulullah dan Abu Bakar Shidiq tengah dalam perjalanan. Keduanya hendak beristirahat untuk melepaskan rasa lelah dan dahaganya. Beliau melihat ada sekawanan kambing milik Uqbah bin Mu'aith yang sedang digembalakan Abdullah bin Mas'ud. Beliau pun meminta izin pada Abdullah untuk meminta seteguk susu kambing sebagai pelepas dahaga. Namun Abdullah tidak mengabulkannya karena kambing itu bukan miliknya sendiri dan Allah pasti mengetahuinya. Rasulullah pun tersenyum senang melihat kejujurannya.
Kejujuran merupakan nilai universal yang sejatinya dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan. Dalam pesta demokrasi, pemilihan presiden, legislatif, dan kepala daerah di belahan dunia manapun selalu merujuk pada dua pilar utama untuk mengukur kesuksesan pelaksanaannya: kejujuran dan keadilan. Keduanya menjadi pilar penting dalam menentukan legitimasi dan kredibilitas pelaksanaan suatu pesta demokrasi. Demikian pula, dalam bermuamalah, penegakan hukum (law inforcement), hidup bermasyarakat, dan terlebih lagi dalam mengelola sebuah negara, nilai-nilai kejujuran harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Itulah sebabnya, kejujuran merupakan sesuatu yang sangat substansial perlu dimiliki oleh setiap orang. Harga diri, kredibilitas, kehormatan, dan integritas seseorang di antaranya ditentukan oleh tingkat kejujurannya. Sikap ini merupakan kunci keberhasilan dalam membangun bangsa dan negara yang didera dengan defisitnya kejujuran dalam diri para pemimpin, elite politik, dan warga negara.
Ironi kejujuran
Keterpurukan bangsa ini salah satu penyebab utamanya adalah akibat perilaku warga masyarakat dan pengelolaan negaranya yang tidak jujur. Akibatnya, korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin menggurita di berbagai sendi-sendi kehidupan. Agaknya, tak ada lagi lembaga di negeri ini yang steril dari KKN. Pantaslah bila negara kita ditempatkan sebagai negara terkorup kedua di Asia. Padahal negeri ini kurang apa? Lebih dari 622.000 bangunan masjid tersebar di seluruh pelosok negeri, negara muslim terbesar di dunia, ribuan orang setiap tahun menunaikan ibadah haji, ribuan orang telah mengikuti ESQ, dan adanya lembaga-lembaga yang berotoritas dan berkomitmen memberantas korupsi. Itu berarti, korupsi telah berakar dalam kehidupan masyarakat kita hingga tidak mudah mengikisnya.
Laporan BPK tahun 2003, megindikasikan adanya korupsi di lingkungan Depdiknas. Tak tanggung-tanggung lembaga ini ditempatkan sebagai departemen terkorup setelah Departemen Agama, sungguh sangat menyesakkan dada. Semestinya, lembaga ini mengemban tugas mulia dalam mencerdaskan bangsa dan memelopori kebajikan, ternyata tidak steril dari korupsi. Bahkan, menurut laporan Indonesian Corruption Watch, korupsi di institusi pendidikan dilakukan secara bersama-sama dalam berbagai jenjang, dari tingkat sekolah, dinas, sampai departemen. Guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan seterusnya masuk dalam jaringan korupsi. Sekolah yang diharapkan menjunjung nilai-nilai kejujuran justru mempertontonkan kepada siswanya praktik-praktik korupsi. Benar-tidaknya sinyalemen ini, semua insan yang berkiprah di dunia pendidikan, mesti berintrospeksi dan melakukan tindakan konkret untuk memperbaiki kondisi yang tercela tersebut.
Potret buram deskripsi perilaku siswa yang meminta jawaban kepada orang lain pada saat tes, mencontek pekerjaan rumah, menjiplak karya orang lain, dan mengambil barang temannya di lingkungan sekolah seperti HP, helm, kalkulator, uang, dan buku kerap kali terjadi. Potret buram ini menunjukkan kejujuran masih "jauh panggang dari api". Krisis kejujuran ini hampir dialami di sejumlah sekolah. Kondisi ini dikhawatirkan akan berimbas dalam kehidupannya yang lebih luas di msyarakat. Untuk itulah, langkah-langkah bersifat edukatif, persuasif, kreatif, kuratif dan preventif mesti dilakukan untuk memperbaiki deviasi kejujuran tersebut.
Potensi kejujuran
Pada dasarnya, setiap orang memiliki nurani untuk selalu jujur. Tetapi, karena keangkuhan, kebodohan, atau egonya, manusia sering menggadaikan kejujuran dirinya. Di sinilah kiranya, pendidikan dapat berperan dan berkontribusi nyata. Kita sudah ketahui, sasaran pendidikan adalah perubahan sikap dan perilaku. Perubahan sikap dan perilaku ini dilakukan melalui internalisasi nilai-nilai. Aspek ini terwujud juga dalam falsafah pendidikan negeri kita, yang bersendikan pembangunan kecerdasan manusia Indonesia seutuhnya. Karena itu, pendidikan harus mampu mengembangkan prinsip keseimbangan perkembangan 3H (head, heart, hand). Peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Teori pendidikan mengenal tiga ranah tujuan pendidikan: kognisi, afeksi, dan konasi. Ranah kognisi menekankan aspek penerimaan informasi. Kemudian, peserta didik mampu menjelaskan kembali informasi yang telah diserap. Kemampuan kognisi berguna mengombinasikan cara-cara baru dan mensintesiskan ide-ide baru. Mengetahui, mengingat, memahami, menganalisis, dan mengevaluasi merupakan tujuan di domain kognisi. Ranah afeksi menekankan aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai, dan tingkat kemampuan menerima atau menolak sesuatu. Sedangkan ranah konasi (psikomotorik) menitikberatkan pada tujuan melatih keterampilan teknis, memanipulasi gerak, merangkai berbagai gerak, dan meniru gerak. Ketiga domain itu idealnya seimbang. Adanya keselarasan sisi kognitif, afektif, dan psikomotorik.