Perlukah Belajar Hidup Susah?
Oleh Karnita
Pengumuman kelulusan SMA/SMK sederajat menyisakan problem serius. Sebagian dari mereka yang lulus jenjang SMA/SMK akan terserap ke perguruan tinggi, baik PTN maupun PTS. Namun yang lebih besar akan memasuki lapangan kerja, baik formal maupun informal. Masalahnya, di tengah sempitnya lapangan kerja belakangan ini, daya tampung dunia kerja tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja yang ada.
Mereka yang tidak tertampung di perguruan tinggi dan lapangan kerja akan menjadi penganggur-penganggur baru.
Persoalan utamanya ialah tidak semua anak siap menjandi penganggur dengan segala konsekuensinya. Masih lebih mending mereka yang dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Terbuka kesempatan memperoleh pembinaan lanjutan. Namun tidak bagi mereka yang kurang beruntung dan terpaksa menjadi penganggur.
Secara mental semua orang tidak siap menjadi penbganggur. Mereka yang pernah bekerja, meski berasal dari keluarga kekurangan, sebagian besar tidak siap menjadi penganggur dan menjalani hidup susah. Dunia sekolah dengan status pelajar memberi batas dan jarak yang tegas dengan mereka yang belum bekerja dengan berbagai alasan.
Apalagi fakta membuktikan status pelajar dengan pengangguran mempunyai tempat yang berbeda di lingkungan masyarakat. Seorang pelajar tidak peduli latar belakang sekolah dibebaskan dari tanggung jawab mencari pekerjaan. Jika pun berkeliaran di mal, atau kongkow di tepi jalan dengan berpakaian seragam, masih bisa dipahami.
Diakui bahwa seorang lulusan SMA/SMK tidak mempunyai kesiapan mental memadai ketika masuk dunia pengangguran. Kebanyakan anak tidak disiapkan melakoni hidup seperti itu. Mereka dibiarkan sendirian terlempar dari pusaran dan menghadapi hidup yang sesungguhnya. Akibat tidak ada kesiapan, kebanyakan terbentuk oleh alam.
Jika beruntung, mereka akan berkembang ke arah yang positif. Namun tak jarang mereka jatuh dalam pelukan penyalahgunaan narkoba, kriminalitas, atau geng-geng remaja. Dorongan kebutuhan hidup memaksanya kreatif daripada sebelumnya. Sayangnya, kreativitas muncul lebih karena terpaksa, dan kadang-kadang negatif atau cenderung merugikan orang lain.
Oleh karena itu, belajar menjalani hidup susah perlu diajarkan kepada anak. Mereka perlu mengalami bagaimana rasanya kekurangan. Mereka perlu mengetahui bagaimana rasanya dalam musim paceklik. Anak-anak yang lahir di desa dengan segala kekurangan terbiasa hidup kekurangan. Jika ada nasi, mereka bisa makan umbi-umbian, ketela, talas, bahkan gadung yang bisa beracun.
Tidak cukup mereka mendapat informasi dari televisi atau koran soal ada orang yang makan nasi aking atau ditolak di rumah sakit karena tidak ada biaya. Mereka perlu mengalami sendiri bagaimana rasanya menjadi orang susah dan kekurangan.