Percepatan Sertifikasi Guru: Antara Formalitas dan Substansi
Oleh Karnita
Percepatan sertifikasi guru yang awalnya diharapkan menjadi langkah besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan kini memunculkan berbagai pertanyaan. Janji untuk memperbaiki kualitas pengajaran melalui sertifikasi ternyata berhadapan dengan kenyataan yang jauh dari harapan. Percepatan sertifikasi, yang seharusnya menjadi katalisator perubahan, justru menimbulkan dilema besar: apakah ini akan benar-benar mendongkrak kualitas pendidikan, atau sekadar menjadi angka administratif yang kosong makna? "Fiat lux," semoga pemahaman mendalam mengenai kebijakan ini mampu menyinari kabut kebingungannya.
Salah satu komitmen yang ditegaskan oleh Presiden Prabowo melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) adalah percepatan kesejahteraan guru melalui sertifikasi guru. Komitmen ini berfokus pada peningkatan penghasilan dan kualitas hidup guru dengan memberikan sertifikat yang diharapkan akan meningkatkan profesionalisme dan kompetensi mereka. Namun, meskipun niatnya mulia, apakah percepatan sertifikasi ini benar-benar memberi dampak positif pada kualitas pendidikan secara keseluruhan?
Ketika pemerintah merancang percepatan sertifikasi, ada anggapan bahwa proses ini akan berjalan mulus, seperti mesin yang terjaga dengan baik. Namun, kenyataannya lebih kompleks. Pertanyaan yang muncul bukan hanya soal percepatan proses, tetapi juga apakah sertifikasi benar-benar mencerminkan kualitas mengajar? Tidak sedikit guru yang hanya memiliki sertifikat, namun kualitas pengajaran mereka tidak terjamin. Sebagaimana pepatah bijak, "Jangan menilai ikan dari kemampuan memanjat pohon," kualitas pengajaran tidak seharusnya diukur hanya dari selembar sertifikat.
Kebijakan percepatan sertifikasi ini menimbulkan anomali besar. Di satu sisi, sertifikasi diharapkan dapat meningkatkan kompetensi guru, tetapi di sisi lain, banyak guru yang merasa terjebak dalam sistem administratif yang rumit dan terkesan dipaksakan. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk memenuhi syarat administratif daripada fokus pada pengembangan kompetensi mengajar. Sekarang, sertifikasi bukan lagi soal kualitas, melainkan soal bagaimana memenuhi syarat untuk mendapatkan selembar sertifikat. "Acta non verba," tindakan jauh lebih penting daripada sekadar kata-kata indah yang tidak berharga.
Ironisnya, percepatan sertifikasi yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pengajaran malah membuat guru terjebak dalam birokrasi yang berlarut-larut. Proses yang seharusnya fokus pada peningkatan kompetensi pengajaran malah mengalihkan perhatian guru dari tujuan utama mereka, yaitu mendidik anak bangsa dengan sepenuh hati. Sertifikasi yang semestinya menjadi alat ukur kompetensi berubah menjadi formalitas yang jauh dari harapan. Tanpa pengawasan yang tepat dan sistem yang mendalam, sertifikasi malah menjadi simbol kosong yang tidak memberikan dampak nyata pada kualitas pendidikan.
Percepatan sertifikasi ini menggambarkan ketidaktahuan akan esensi sejati pengajaran. Pendidikan bukanlah soal selembar sertifikat, melainkan tentang bagaimana mendidik anak-anak bangsa menjadi insan yang cerdas, kreatif, dan penuh kasih. "Non scholae, sed vitae discimus," kita belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup. Pengajaran yang efektif harus dipandu oleh pengalaman dan kecintaan terhadap profesi, bukan hanya sekadar dokumen administratif.
Implikasi dari kebijakan percepatan sertifikasi ini tidak hanya dirasakan oleh para guru yang terbebani, tetapi juga merembet pada kualitas pendidikan itu sendiri. Fokus yang berlebihan pada administrasi mengurangi waktu yang seharusnya dapat dimanfaatkan guru untuk memperbaiki metode pengajaran mereka. Tumpukan berkas dan ujian yang tidak relevan justru menghambat upaya pengembangan kualitas pendidikan yang seharusnya didorong oleh kebijakan yang lebih bijaksana.
Melihat fenomena ini, kita perlu bertanya, "Apa yang sebenarnya ingin dicapai dari kebijakan percepatan sertifikasi ini?" Apakah kita hanya mengejar angka-angka administratif ataukah berfokus pada kualitas pengajaran yang lebih substansial? Kebijakan yang tidak seimbang antara administrasi dan pengajaran justru akan menambah beban guru tanpa memberikan manfaat signifikan bagi pendidikan. "Nihil sub sole novum," tidak ada yang baru di bawah matahari—kebijakan yang terburu-buru ini tidak memberikan perubahan berarti dalam jangka panjang.
Sebaiknya, kita merekomendasikan perbaikan sistem yang lebih menyeluruh, bukan hanya sekadar mempercepat proses sertifikasi. Percepatan sertifikasi harus diimbangi dengan pengawasan yang ketat, pelatihan yang lebih bermakna, dan pengembangan kapasitas guru dalam mengajar. Jika kebijakan ini ingin diterapkan dengan cepat, mestinya diikuti dengan relevansi materi yang aplikatif dan berguna bagi dunia pendidikan. Jangan hanya berfokus pada angka, tetapi perhatikan substansi yang lebih penting—membangun masa depan bangsa.