UN Comeback? Menyongsong Ujian dengan Kewaspadaan
Oleh Karnita
Pendidikan selalu menjadi topik yang sensitif, dan keputusan besar seperti pengembalian Ujian Nasional (UN) tentu tidak bisa dianggap ringan. Mendikdasmen Abdul Mu'ti, melalui konsep baru yang tengah disiapkan, membawa kembali wacana yang sempat dihapus di era Nadiem Makarim. UN, yang dahulu menjadi penentu kelulusan dan seleksi masuk perguruan tinggi, kini rencananya akan dihidupkan kembali pada 2026 dengan tujuan untuk memetakan mutu pendidikan. Meski konsep ini menyarankan adanya perubahan, keputusan ini memicu perdebatan hangat di kalangan masyarakat.
Bagi sebagian pihak, pengembalian UN bisa dipandang sebagai upaya untuk mengembalikan standar dan merata-ratakan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia. Ketika UN masih berlaku, setidaknya ada alat ukur yang digunakan pemerintah untuk melihat capaian pendidikan di seluruh pelosok negeri. Namun, yang menjadi pertanyaan mendalam adalah apakah UN adalah solusi terbaik untuk memetakan mutu peserta didik? Atau justru, ia akan kembali terperangkap dalam paradigma lama yang berfokus pada angka dan nilai ujian semata?
Petisi yang menolak UN kembali bergulir, dan alasan yang diungkapkan oleh "Aliansi Pendidikan Baik" cukup mencerminkan ketidaksetujuan yang kuat terhadap kebijakan ini. Mereka menilai bahwa UN terlalu menekankan hasil ujian dan tidak adil dalam mengukur kemampuan individu. Pembelajaran yang ideal, mereka klaim, harus lebih berfokus pada penguasaan kompetensi dan penguatan karakter, bukan pada pencapaian angka dalam waktu singkat. Dengan demikian, UN bisa merusak esensi dari pendidikan itu sendiri, yang seharusnya mengutamakan proses, bukan sekadar hasil akhir.
Argumentasi ini menggugah kita untuk berpikir lebih jauh. Pendidikan seharusnya membangun karakter dan kesiapan siswa menghadapi tantangan hidup, bukan sekadar mengasah kemampuan mereka untuk melewati ujian. Jika fokus pembelajaran hanya pada materi ujian, maka siswa akan terjebak dalam pola belajar yang sempit. Mereka tidak akan belajar untuk memahami dan mengaplikasikan pengetahuan, tetapi hanya untuk memenuhi ekspektasi soal ujian. Pada titik inilah UN berpotensi merusak perkembangan kreativitas dan keterampilan berpikir kritis yang sangat penting bagi masa depan mereka.
Selain itu, dampak psikologis yang timbul dari UN juga perlu mendapat perhatian serius. Siswa yang masih dalam tahap perkembangan, baik secara kognitif maupun emosional, rentan terhadap tekanan berat yang ditimbulkan oleh ujian ini. Terlebih lagi, dalam banyak kasus, ketegangan psikologis ini diperburuk oleh ketidakseimbangan dalam akses pendidikan yang berkualitas. Tidak semua siswa memiliki kesempatan yang setara untuk mempersiapkan ujian dengan baik, terutama mereka yang berada di daerah terpencil atau kurang berkembang. Ketidakadilan ini hanya memperlebar jurang kesenjangan pendidikan antara anak-anak dari keluarga mampu dan mereka yang hidup dalam keterbatasan.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa evaluasi pendidikan yang terstandar juga diperlukan, apalagi untuk tujuan pengembangan sistem pendidikan nasional. Dengan UN, setidaknya ada data yang bisa digunakan untuk memetakan kualitas pendidikan di berbagai daerah. Tetapi yang menjadi masalah adalah, apakah data tersebut cukup mencerminkan keseluruhan kualitas pendidikan? Asesmen Nasional yang berlaku saat ini memang mencakup berbagai aspek, seperti kompetensi minimum, karakter, dan lingkungan belajar, namun ia lebih bersifat sampel dan tidak bersifat individu. Hal ini menjadi salah satu kekurangan yang dirasakan banyak pihak, khususnya mereka yang merasa bahwa evaluasi harus lebih bersifat personal dan konkret.
Lalu, jika UN benar-benar diberlakukan kembali, apakah konsep baru ini dapat menjawab tantangan yang ada? Abdul Mu'ti menyebutkan bahwa konsep UN yang baru ini akan fokus pada pemetaan mutu peserta didik dan akan digunakan untuk seleksi masuk perguruan tinggi. Namun, jika hanya itu tujuannya, bukankah kita akan kembali ke titik awal: menjadikan ujian sebagai penentu utama keberhasilan siswa? Ini adalah pola yang perlu dipertimbangkan lebih dalam, agar kita tidak terjebak dalam lingkaran setan yang sama, yaitu pembelajaran yang hanya berorientasi pada hasil akhir.
Kelemahan utama dari sistem UN yang lama adalah ketidakadilan akses dan kesiapan infrastruktur. Jangan sampai kebijakan ini hanya menguntungkan mereka yang beruntung berada di kota-kota besar dengan akses pendidikan yang mumpuni, sementara siswa dari daerah terpencil atau kurang berkembang tetap tertinggal. Oleh karena itu, jika ingin mengembalikan UN, harus ada upaya nyata untuk meratakan kualitas pendidikan, termasuk infrastruktur dan pelatihan guru, agar semua siswa mendapat kesempatan yang adil untuk bersaing.
Selain itu, konsep baru UN harus disertai dengan pemanfaatan teknologi yang lebih canggih dan adil. Jika dulu UN cenderung menggunakan sistem yang dapat diprediksi dengan mudah, kini teknologi seperti Computer Adaptive Test (CAT) bisa menjadi alternatif yang lebih modern dan lebih sulit untuk dimanipulasi. Dengan demikian, UN bisa menjadi ujian yang lebih tepat dan transparan, serta dapat lebih mengakomodasi kemampuan individual peserta didik.