Berapakah jumlah uang yang terbakar sia-sia dan hanya menjadi asap knalpot di ruas jalan Sudirman-Thamrin akibat kemacetan setiap hari?
Persoalan yang berkaitan dengan pertanyaan ini mungkin tak pernah terpikirkan karena telah berubah menjadi rutinitas. Sama persis halnya dengan masalah jumlah manusia yang tewas di jalan akibat menjadi korban lalu lintas, nyaris tak mendapat perhatian. Padahal, kemacetan yang makin parah melanda Jakarta, justru berdampak langsung pada beban masyarakat pengguna kendaraan.
Ruas Sudirman-Thamrin sendiri saya pilih sebagai contoh kasus, karena inilah ruas jalan yang menjadi cerminan betapa buruknya pengelolaan dan manajemen lalu lintas di Ibukota Jakarta ini. Ruas ini, juga mewakili pusat aktivitas dan kondisi jalan terbaik di Jakarta sehingga sangat patut menjadi barometer.
Ruas Sudirman-Jakarta, harusnya menjadi poros lalu lintas yang terbebas dari kemacetan. Karena ruas ini, memikul tanggung jawab sebagai nadi aktivitas perekonomian Jakarta, bahkan sebagian dari aktivitas perekonomian di negeri ini.
Tapi apa yang terjadi?Kondisi lalu lintas di poros ini bukannya bertambah lancar. Malah sebaliknya, semakin hari terjadi penurunan kecepatan rata-rata akibat pertumbuhan volume kendaraan yang melaluinya. Sebuah sumber menyebutkan, kecepatan kendaraan di ruas Sudirman-Thamrin yang panjangnya sekitar 5 km, hanya sekitar 8 km/jam. Itu berarti, untuk mengarungi ruas ini dari ujung ke ujung, dibutuhkan waktu tempuh sekitar 37.5 menit.
Padahal idealnya, kecepatan rata-rata yang dianggap nyaman adalah 30 km/jam. Sehingga mestinya, pengendara yang melewati ruas Sudirman-Thamrin ini hanya perlu waktu 10 menit. Artinya, ada selisih 27.5 menit waktu yang terbuang percuma. Sehingga kalau dihitung perjalanan pergi pulang, total waktu yang terbuang menjadi 55 menit.
Sungguh, kehilangan yang amat sia-sia. Dengan kata lain, bagi seorang pekerja, waktu yang hilang tersebut setara dengan 11.4% dari waktu produktivitas mereka. Namun, lebih dari itu, ada kerugian lain yang sifatnya direct cost yang harus ditanggung pengguna ruas jalan ini akibat kemacetan. Yakni, pertambahan beban konsumsi bahan bakar di atas kebutuhan semestinya.
Saya akan mencoba membuat simulasi perkiraan, seberapa besar beban pertambahan konsumsi bahan bakar akibat kemacetan ini. Kita ambil contoh saja, sebuah mobil yang menggunakan mesin dengan kapasitas silinder 1.500 cc. Jenis mobil dengan volume silinder seperti ini, sangat dominan digunakan konsumen mobil di Indonesia. Pada kecepatan rata-rata 50 km/jam, mobil ini menghabiskan 1 liter BBM untuk setiap jarak tempuh 10 km.
Sebuah rumusan menyebutkan, BBM yang dikonsumsi sebuah kendaraan (mobil), antara 60% hingga 80% dari BBM tersebut sebenarnya habis untuk menggerakkan atau menghidupkan mesin. Main besar volume silinder mesin, makin besar pula persentase kebutuhan BBM untuk menghidupkan mesin. Walhasil, saya ambil angka paling rendah, 60%. Artinya dalam setiap satuan volume bahan bakar, hanya sekitar 40% yang digunakan oleh mobil ini untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Jumlah 40% itu terbagi untuk menghasilkan energi yang menggerakkan transmisi, memutar propeller shaft, axle shaft dan menggerakkan roda. Sebagian kecil lainnya lagi habis oleh proses pergesekan dari berbagai macam komponen.
Dalam kasus mobil bermesin 1.500 cc tadi yang melaju dengan kecepatan 50 km/jam, itu berarti bahan bakar yang dipakai untuk berpindah sejauh 50 km dalam tempo 1 jam adalah 5 liter. Dari rumusan sebelumnya, berarti 3 liter BBM untuk kebutuhan mesin hidup selama 60 menit dan 2 liter untuk konsumsi energi yang memindahkan mobil sejauh 50 km.
Dengan kecepatan sama, untuk jarak 5 km di ruas Sudirman-Thamrin, butuh waktu tempuh sepersepuluh saja atau 6 menit. Dari waktu tempuh ini, kebutuhan BBM untuk menghidupkan mesin adalah 0.3 liter (6 menit dibagi 1 jam dikali dengan 3 liter) dan BBM untuk energi perpindahan sejauh 5 km sebanyak 0.2 liter. Sehingga total menjadi 0.5 liter.
Bagaimana bila ruas Sudirman-Thamrin bisa ditempuh dengan kecepatan ideal 30 km/jam? Berarti, waktu tempuh yang diperlukan adalah 10 menit. Konsumsi BBM-nya menjadi 0.5 liter ditambah 0.2 liter sehingga totalnya 0.7 liter.
Sekarang, kecepatan rata-rata di Sudirman-Thamrin ternyata cuma 8 km/jam, berarti jarak 5 km harus ditempuh dalam tempo 37.5 menit.Dengan kata lain, BBM yang dihabiskan untuk menghidupkan mesin saja sekitar 1.9 liter. Bila ditambah dengan konsumsi BBM untuk energi perpindahan sejauh 5 km sebesar 0.2 liter, total konsumsi BBM menjadi 2.1 liter.
Selisih konsumsi BBM pada kecepatan rata-rata 30 km/jam dengan 8 km/jam ini untuk jarak tempuh 5 km, mencapai 1.4 liter. Bila dihitung jarak tempuh pergi-pulang, angkanya menjadi 2.8 liter. Bila ini dikompensasi ke harga BBM Premium saja yang Rp 4.500, maka pengguna mobil yang melewati ruas Sudirman-Thamrin melakukan pemborosan sebesar Rp 12.600/hari atau Rp 315.000 sebulan (25 hari).
Angka ini, membuat saya terkesima saat mengetahui perkiraan volume kendaraan yang melewati ruas Sudirman-Thamrin dalam sehari. Menurut data yang dirilis Swisscontact berdasarkan aktivitas pengukuran kualitas udara di tahun 2005, jumlah kendaraan yang melewati Sudirman-Thamrin pada hari kerja mencapai 174 ribu unit.
Kalau dasar perhitungan tahun 2005 ini kita gunakan (saat ini jumlahnya pasti jauh melonjak), pemborosan akibat kemacetan dari konsumsi BBM dalam sehari mencapaihampir Rp 2 miliar! Ingat, angka ini dihasilkan hanya dari ruas Sudirman-Thamrin. Catat pula, ini bukan nilai konsumsi BBM total, tapi hanya tambahan yang muncul akibat kemacetan.
Bila perhitungan dalam sebulan (25 hari kerja), maka jumlah yang dihasilkan cukup fantastis, hampir Rp 55 miliar. Angka ini pun, nyaris dua kali lebih besar dari biaya pelebaran jalan Sudirman-Thamrin di tahun itu yang sempat mengundang reaksi kalangan LSM. Berapa setahun? Silakan hitung sendiri.
Sungguh, sebuah kerugian besar yang harus ditanggung masyarakat pemilik kendaraan yang setiap tahun dibebani kewajiban membayar pajak. Dan semua itu, bersumber dari ketidakmampuan dan ketidakpedulian pemerintah DKI Jakarta untuk mengimbangi perkembangan yang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H