Hari-hari terakhir ini, dunia kembali memperingati sebuah tragedi hitam dalam perspektif kemanusiaan. Yang dimaksud, tak lain dari serangan terhadap gedung kembar WTC (World Trade Center) di New York, Amerika Serikat. Days of terror yang terjadi 11 September 2001 atau 10 tahun silam itu, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga korban yang berasal dari hampir 90 negara di dunia.
Menurut data yang dirilis New York Times, ketika itu tercatat 2.977 orang tewas dalam peristiwa terror yang meluluhlantakkan Twin Towers, lambang hegemoni ekonomi Amerika Serikat itu. Jumlah korban tewas dalam tempo yang hampir bersamaan dalam satu lokasi atau area itulah, menjadikan peristiwa 11 September ini begitu menyedot perhatian luar biasa.
Ironisnya, kematian massive ini, justru terjadi karena bermuasal dari sebuah pandangan ekstrim oleh kelompok yang mengatasnamakan agama. Sungguh ironis, karena sesungguhnya agama ada untuk menjaga kemaslahatan manusia. Agama juga mengajarkan untuk menghargai sesama. Agama menempatkan mahluk hidup, terlebih manusia, agar terjaga dari tindakan keji.
Jadi, apa pun alasan yang melatari peristiwa yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, tetap tidak dapat diterima sebagai sebuah keniscayaan. Tidak bagi bangsa dan agama-agama yang ada di dunia, terlebih tidak pula bagi warga kota New York yang langsung menjadi korban.
Namun, entah kebetulan saja, kota New York tampaknya sudah ditakdirkan untuk menjadi ikon sejarah dari berbagai tragedi kemanusiaan dunia. Bahkan, sebuah tragedi yang hingga detik ini tak henti dan terus saja menelan korban jiwa dengan jumlah yang jauh lebih besar, juga berawal dari New York.
Masih di bulan yang sama, lebih seabad sebelum peristiwa Twin Towers, tepatnya 13 September 1899, sebuah kecelakaan terjadi di West 74th Street, New York. Seorang pejalan kaki yang semula beniat menolong seorang ibu mendorong trolley-nya, tertabrak olehtaksi. Orang ini, kemudian dikenali bernama Henry Hale Bliss. Sopir taksi yang menabraknya, Arthur Smith, ketika itu membawa penumpang, Dr. David Edson yang tak lain dari putra Walikota New York di masa itu.
Bliss, pengusaha real estate yang tertabrak dengan luka parah di kepala, lantas dievakuasike rumah sakit. Sayangnya, upaya pertolongan medis tak mampu menyelamatkan nyawanya. Bliss dinyatakan meninggal pada pagi berikutnya, 14 September 1899. Kematian Bliss ini, tercatat sebagai korban tewas pertama di dunia yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas.
Namun, ingatan warga dunia akan kematian Bliss itu, terjadi setelah berpuluh tahun berlalu.Baru pada 1993 silam, tragedi di sebuah jalan di New York ini diperingati sebagai The World Day of Remembrance for Road Traffic Victims. Lalu pada 26 Oktober 2005, WHO pun menetapkan The World Day of Remembrance for Road Traffic Victims sebagai momen yang harus diperingati tiap tahun. Meskipun waktunya, dipilih pada pekan ke-3 di bulan November setiap tahun.
Lagi-lagi, ini juga sebuah ironi. Karena bagaimana pun, Karl Friedrich Benz yang disebut-sebut penemu kendaraan yang pertama di dunia dan kemudian dikenal sebagai mobil berbahan bakar bensin (ada pula yang menyebut Nicolaus J. Cugnot – 1769, sebagai penemu mobil pertama), tentulah berharap karyanya itu memberikan manfaat besar. Pemikiran serupa, juga tentu dimiliki Henry Ford, orang pertama memperkenalkan mobil di Amerika Serikat.
Faktanya, setelah kecelakaan yang merenggut nyawa Bliss, korban demi korban terus bergelimpangan di jalan di seluruh dunia. Menurut data WHO, di tahun 2000 lalu saja tercatat 1.260 juta jiwa tewas akibat kecelakaan lalu lintas di seluruh dunia. Hanya dengan melihat angka, jelas bila jumlah ini berlipat ratus kali dibandingkan jumlah korban tragedi WTC.
Dari jumlah itu pula, sekitar 800 ribu jiwa merupakan mereka yang tergolong usia remaja dan usia produktif. Bisa dibayangkan, seperti apa tragedi kemanusiaan yang tercipta dari produk bernama kendaraan ini dan berlangsung terus menerus sepanjang tahun? Karena tidak dapat dipungkiri - melihat usia korban- tentulah banyak di antara mereka yang menempati posisi sebagai penopang ekonomi keluarga.
Di Indonesia sendiri, menurut data pihak kepolisian, jumlah korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas di tahun 2000 mencapai 10.000 jiwa.Angka ini terus menunjukkan trend peningkatan. Bahkan di tahun 2009, tercatat 20.188 korban tewas akibat kecelakaan di jalan.
Tentu saja, angka ini kemungkinan lebih besar, mengingat cukup banyak peristiwa kecelakaan di jalan yang tidak sempat tercatat. Sebuah perkiraan bahkan menyebut, kematian akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia saat ini mencapai sekitar 32.000 jiwa setiap tahun.
Meningkatnya korban lalu lintas dari tahun ke tahun itu, akhirnya membawa WHO menggagas program A Decade of Action. Yakni, sebuah upaya yang berlangsung dari 2011 hingga tahun 2020 mendatang dengan sasaran menurunkan angka kematian di jalan secara drastis melalui berbagai program kampanye road safety. Target yang dicanangkan WHO yakni angka kematian 800 ribu jiwa per tahun dari prediksi 2 juta jiwa di tahun 2020 bila tidak dilakukan tindakan pencegahan.
Kini, setelah tragedi 11 September 2001, nadi kehidupan dan aktivitas ekonomi di New York kembali berdenyut kencang. Bahkan tak jauh dari lokasi Twin Towers yang lalu dikenal sebagai Ground Zero, berdiri Moslem center berikut masjid. Kendati sempat mengundang perdebatan, toh banyak yang akhirnya berpendapat bahwa kehadiran masjid di lokasi itu mencerminkan sikap pluralism warga New York terhadap keberagaman beragama.
New York terus menggeliat. Tetes darah dari luka Henry Hale Bliss tentu tak lagi berbekas di West 74th Street, tergilas oleh waktu dan roda-roda mobil yang terus memadati kota ini. Menurut New York Times, sekitar 450 ribu kendaraan terdaftar di New York State saat ini. Jumlah tersebut, lebih banyak dari jumlah mobil yang terdaftar di seluruh Amerika Serikat pada tahun 1917.
Pada akhirnya, apa pun wajah yang disodorkan New York saat ini, tetap telah terjadi goresan sejarah yang patut menjadi renungan. Peristiwa 11 September 2001 jelas menjadi penistaan agama dengan menjadikannya alasan untuk mengakhiri hidup sesama manusia. Dan kematian Bliss lebih seabad silam, harus dipahami sebagai peringatan untuk tidak menjadikan mobil sebagai mesin pembunuh. New York, patut menjadi simbol tragedi kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H