Satu lagi kecelakaan lalu lintas yang menjadi sorotan beberapa hari belakangan ini. Itu tak lain dari peristiwa tabrakan maut yang melibatkan bus Sumber Kencono dengan sebuah minibus travel. Akibat tabrakan yang terjadi di wilayah Mojokerto, Jawa Timur itu, sedikitnya sudah 21 orang penumpang dinyatakan tewas, termasuk pengemudi kedua kendaraan ini.
Tak pelak, peristiwa ini lantas mengundang reaksi keras. Pihak Departemen Perhubungan merasa perlu mengirimkan tim dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) untuk melakukan investigasi atas kecelakaan ini.
Belum cukup, pihak DPRD Jawa Timur juga berencana membentuk Pansus Kecelakaan Sumber Kencono. Tak kalah berang, Gubernur Jatim, Soekarwo, memerintahkan Dishub LLAJ Jatim mencabut izin operasional Sumber Kencono. Soekarwo tambah gregetan ketika mengetahui hukuman yang dijatuhkan Dirjen Hubdar atas Sumber Kencono dianggapnya terlalu ringan karena hanya membekukan izin trayek bus yang terlibat dalam kecelakaan.
Harus diakui, pihak pemerintah yang dalam hal ini Dirjen Hubdar, sangat sulit memberikan ganjaran yang berat terhadap perusahaan yang mengoperasikan bus Sumber Kencono. Apalagi sampai membekukan izin operasionalnya.
Dalih pihak pengelola Sumber Kencono yang mengemukakan berbagai pembelaan, memang bisa dikesampingkan. Misalnya, soal alasan bahwa tingkat kecelakaan yang melibatkan armada mereka hanya 2% dari total jumlah armada yang beroperasi. Alasan lain, bus Sumber Kencono juga sudah dilengkapi GPS untuk pemantauan dan tiap pengemudi yang diterima berusia di atas 30 tahun dan lulus dalam tes psikologi.
Dari kacamata ilmu Defensive Driving yang sekarang diyakini sangat berperan menurunkan angka kecelakaan, seluruh alasan yang dikemukakan pengelola itu pada dasarnya hanyalah merupakan prasyarat. Faktor usia pengemudi, tidak memiliki kontribusi yang besar bila si pengemudi memang tidak pernah memperoleh gambaran tentang bagaimana mengelola attitude dan behavior secara benar dalam aktivitas mengemudi. Sedangkan tes psikologi, sebenarnya hanya digunakan sebagai dasar assessment dalam pembinaan pengemudi. Saya tidak yakin, tindakan lanjutan ini sudah dilaksanakan oleh pengelola Sumber Kencono.
Pemanfaatan teknologi GPS, juga tidak banyak berpengaruh dalam upaya menekan perilaku pengemudi di jalan yang bisa membahayakan. Dalam SOP yang disusun Smart Driving Institute (SDI), teknologi semacam GPS ini lebih banyak dimanfaatkan untuk tracking dan monitoring untuk berbagai aspek dalam mengemudi. Jejak rekam yang diperoleh dari alat ini, untuk selanjutnya diolah dan dianalisis untuk menentukan wujud pembinaan setiap pengemudi. Lagi-lagi, saya tidak yakin pengelola Sumber Kencono mengaplikasi pola seperti ini.
Lebih dari itu, andaikan pengelola Sumber Kencono tidak melakukan semua hal yang telah mereka kemukakan, pihak Drijen Hubdar tetap tidak bisa menjatuhkan sanksi atas poin-poin dimaksud. Pasalnya, poin yang dikemukakan pengelola bus Sumber Kencono, lebih kepada insiatif mandiri, bukan karena diatur sebagai sebuah kewajiban bagi operator angkutan umum.
Satu-satunya alasan yang bisa digunakan, yakni bila bisa dibuktikan bus Sumber Kencono melampaui batas kecepatan yang diizinkan. Dari sinyalemen berdasarkan laporan saksi yang dikutip media, pada ssat tabrakan, minibus travel sempat terseret sejauh 50 meter.
Berdasarkan hitungan baku yang sering digunakan, kendaraan besar seperti bus minimal memerlukan waktu 2 detik untuk berhenti setelah proses pengereman. Bila dihitung, bus yang melaju 90 km/jam, menghasilkan jarak berhenti atau stopping distance sekitar 49 meter. Maka mudah ditebak, bus Sumber Kencono melaju di atas kecepatan 90 km/jam di ruas jalan yang batas kecepatannya 80 km/jam.
Toh, dasar tuntutan ini masih bisa disanggah oleh pengelola bus Sumber Kencono karena faktor-faktor fisik yang terdapat di lokasi kecelakaan. Terlebih lagi, bila di ruas jalan dimaksud memang tidak dilengkapi rambu batas kecepatan.