"Kamu yang salah. Saya kan di lajur utama?" Begitu penggalan kalimat yang dilontarkan seorang pengemudi kepada pengemudi lainnya. Kalimat itu lantas diikuti dengan rentetan sumpah serapah. Bahkan, ia nyaris melayangkan bogem mentah kepada pengemudi satunya yang hanya terdiam seribu bahasa, andai saja tidak dicegah oleh salah satu orang yang ikut berkerumun.
Apa sebenarnya yang terjadi hingga pengemudi itu demikian marah? Dari situasi di tempat kejadian, mudah dimengerti bahwa mobil kedua pengemudi ini baru saja terlibat saling tabrak. Itu terlihat dari kondisi kedua mobil yang ringsek.
Di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, kejadian seperti ini sudah menjadi pemandangan keseharian. Bahkan dianggap sebagai hal yang lumrah. Persoalannya, haruskah hal semacam ini dibiarkan terus terjadi? Haruskah konfrontasi di jalan menjadi bagian dari kebiasaan kita berkendara?
Konfrontasi di jalan yang seakan menjadi kelaziman ini, sesungguhnya berakar dari kesalahan pemahaman kita tentang beraktivitas di jalan, terutama aktivitas mengemudi atau berkendara itu sendiri. Bahkan kesalahan pemahaman ini juga tak urung diperkuat oleh aturan maupun regulasi yang sesungguhnya hanya mengacu pada pertimbangan benar atau salah.
Contoh sederhana, peristiwa tabrak belakang. Regulasi dan pemahaman umum yang ada menyebutkan, kendaraan yang menabrak dari arah belakang otomatis dinyatakan bersalah. Dalam konteks ini, secara langsung sudah terjadi penghakiman. Meskipun kemudian faktanya, kecelakaan dimaksud justru dipicu oleh kelalaian pengemudi kendaraan di depan.
Kemungkinan ini bisa saja terjadi. Misalnya, seorang yang sedang mengemudi kehilangan konsentrasi karena melakukan aktivitas lain. Sebut saja, menelpon atau menulis teks SMS di saat berada di belakang kemudi (texting while driving). Akibat kehilangan konsentrasi atau kaget, si pengemudi kendaraan di depan tiba-tiba melakukan pengereman mendadak. Sementara di saat yang sama, mobil yang membuntuti di belakang juga tidak siap sehingga tabrakan pun terjadi.
Siapa yang salah? Ini tentu akan menimbulkan perdebatan panjang. Pengemudi kendaraan di belakang, bisa saja melontarkan argumentasi: "Anda sih, tiba-tiba nge-rem mendadak padahal di depan gak ada apa-apa?"
Di beberapa negara, regulasi memang juga mensyaratkan bahwa pengemudi yang membuntuti harus menjaga jarak dengan kendaraan di depannya. Rumusan yang sering dipakai, yakni jarak minimal dua detik waktu tempuh. Penggunaan satuan waktu ini, didasari alasan bahwa manusia butuh waktu sekitar 1 detik untuk menganalisis peristiwa yang dilihatnya sebelum melakukan reaksi. Sedangkan waktu 1 detik sisanya, dialokasikan sebagai waktu mekanis sistem pengereman pada kendaraan.
Regulasi itu juga menyebutkan, jarak membuntuti yang terlalu dekat bisa dikatagorikan sebagai sebuah pelanggaran. Tailgating, disebutkan pula sebagai tindakan yang mengarah pada intimidasi terhadap pengemudi lainnya.
Aturan ini, jelas sangat sulit diaplikasi pada situasi lalu lintas di Jakarta atau beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Bahkan, hal itu tetap saja sulit diaplikasi di jalan tol yang nota bene juga padat. Bayangkan, waktu 2 detik pada kendaraan yang melaju dengan kecepatan 60 km/jam, sama saja dengan jarak sekitar 34 meter. Cobalah terapkan aturan ini di Jakarta, maka Anda akan mendengarkan bunyi klakson riuh rendah dari rangkaian kendaraan di belakang Anda.
Mengacu pada kasus-kasus seperti ini, maka dalam beberapa tahun terakhir, Smart Driving Institute (SDI) yang didirikan pada tahun 2006 silam, mencoba menyusun formulasi yang sesuai atau setidaknya mendekati kondisi lalu lintas di Indonesia. Formulasi ini, mengacu pada prinsip-prinsip dasar defensive driving dengan turut mempertimbangkan persoalan budaya, kebiasaan atau behavior dan attitude atau perilaku pengguna jalan. Ini juga dipengaruhi oleh fakta, bahwa regulasi yang dituangkan dalam aturan-aturan berlalu lintas, selama ini hanya efektif di saat ada petugas yang mengawasi di lapangan.