[caption id="attachment_205655" align="alignleft" width="525" caption="Model simulator menggunakan konstruksi mobil sebenarnya. (foto: NewsPress)"][/caption]
Hiruk pikuk soal penanganan kasus korupsi pengadaan simulator SIM oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK), tidaklah terlalu menarik perhatian saya. Toh, kita sudah mahfum, korupsi sudah mengakar dimana-mana dan hanya waktu atau siapa yang berani mengungkapnya kemudian. Yang membuat saya terusik, karena objek atau barang yang diadakan dan menghasilkan korupsi ini, ternyata tak lain dari simulator.
Lebih terusik lagi, karena pengadaan simulator ini ditargetkan untuk disebar ke seluruh jajaran Kepolisian Resort (Polres). Dan puncak keterusikan saya, simulator dimaksud ternyata dialokasikan sebagai perangkat bagi kebutuhan pengujian calon atau pemohon Surat Izin Mengemudi (SIM). What? Simulator dipakai untuk menentukan seseorang lulus atau berhak mendapatkan SIM?
Saya hampir tak percaya, hingga kemudian saya membaca beberapa berita tentang fungsi simulator ini. Salah satunya dari Merdeka.com yang mengutip komentar Perwira Urusan Simulator Ditlantas Polda Metro Jaya ,Sugiran, yang berpangkat Inspektur Satu (Iptu). Menurut Sugiran, simulator SIM nantinya akan menguji peserta ke dalam enam bagian, slalom test (berjalan zig-zag), Trikana (berjalan membentuk angka 8), sistem pengereman, berjalan membuat V di ujung jalan, membuat letter U, menaiki jembatan, dan jalan lambat lalu mengerem.
Sugiran menjelaskan, ada empat aspek yang diuji menggunakan simulator mobil yaitu aspek reaksi, antisipasi, konsentrasi, aspek sikap dan aspek perilaku pengemudi. "Misalnya, kalau dalam keadaan cepat terus ada orang menyeberang harus bagaimana mengeremnya. Di layar itu ada sistem pengeremannya," jelas Sugiran yang diwawancarai 1 Agustus lalu.
Membaca ini, saya mengurut dada. Siapa sebenarnya yang bodoh? Semua polisi kita yang bertanggung jawab dalam urusan penerbitan SIM? Atasan mereka yang memutuskan pengadaan proyek ini? Anggota DPR yang menyetujui pengucuran anggaran pengadaan yang hampir mencapai Rp 200 miliar dan kemudian dikorupsi itu? Atau, kita rakyat Indonesia yang memang sangat awam dalam urusan seperti ini?
Peranan Simulator
Saya ingin sedikit mengupas sejarah simulator ini. Kehadirannya, sebenarnya sudah ada sejak tahun 1910. Ketika itu, simulator dipakai untuk menguji ketrampilan dan kompetensi para pengemudi angkutan umum berkaitan dengan kendaraan yang dikemudikannya. Di tahun 1960-an, beberapa produsen mobil, perusahaan asuransi, perguruan tinggi, militer, hingga industry penerbangan, melengkapi simulatornya dengan tayangan visual.
[caption id="attachment_205657" align="alignleft" width="300" caption="Simulator milik Honda dengan 3 screen untuk mengakomodir pandangan pheripheral penggunanya. (foto: NewsPress)"]
Hasilnya, di tahun 1983 Federal Highway Administration (FHWA), Human Factor Laboratory, Highway Driving Simulator (HYSIM) merancang driving simulator lebih modern. Simulator ini menggunakan mobil sungguhan dengan peranti pendukung yang mampu melakukan mitigasi terhadap ancaman bahaya dan factor manusia di saat mengemudi. Langkah Amerika Serikat ini diikuti oleh Swedia serta Mercedes-Benz dengan menghadirkan simulator yang bergerak. Sedangkan di Belanda, simulator disebut berhasil digunakan untuk mengetahui kemampuan visual dan analisis pengemudi.
Tapi di tahun 1997, sebuah penelitian berkaitan dengan simulator ini dirilis (Charman, 1997). Intinya, menyoroti korelasi signifikan perangkat simulator ini dengan kondisi sebenarnya di jalan. Hasilnya, pemakaian simulator untuk menguji visi dan kemampuan seorang pengemudi, “…remains unproven.” Dan faktanya – sekarang ini – negara-negara yang sangat concern terhadap keselamatan lalu lintas antara lain Australia, Kanada, Selandia Baru, Inggris Raya, serta Amerika Serikat, tak satu pun yang memanfaatkan driving simulator ini sebagai alat pengujian memperoleh SIM.
Simulator Abal-abal
Pertanyaannya sekarang, kenapa Indonesia mengaplikasinya justru di saat negara-negara maju dan sangat perhatian pada keselamatan lalu lintas itu menghentikan penggunaan simulator mengemudi? Pertanyaan berikut, simulator seperti apa yang dipakai oleh polisi kita untuk menguji ketrampilan dan kompetensi calon pemegang SIM itu?
Dari gambar yang banyak beredar di media, saya menyimpulkan bahwa jenis atau katagori simulator dimaksud, tergolong low-level simulators bila tidak ingin disebut simulator abal-abal dalam konteks peruntukannya. Kita simak rumusan katagori driving simulator ini dari dua sumber. Pertama Saluaar et.al (2000) dan Straus (2005). Saluaar bilang, ada 3 katagori simulator, yakni low-level, mid-level dan high-level.
Simulator low-level, popular dan mudah diperoleh di pasaran, dilengkapi dengan PC, pedal-pedal serta lingkar kemudi. Dikaitkan dengan konteks tulisan, simulator low-level ini umumnya dipakai di tempat-tempat kursus atau sekolah mengemudi atau sarana rehabilitasi pengemudi yang pernah trauma. Di sekolah mengemudi, berguna untuk memperlancar ketrampilan siswa untuk olah kemudi, perpindahan shift gear, mengenali situasi lalu lintas, dan sebagainya.
Simulator mid-level, biasanya digunakan instansi pemerintah maupun perguruan tinggi. Simulator ini, dirancang mendekati kondisi mengemudi sebenarnya atau driving experience seperti adanya bunyi dan visual. Tapi fungsinya, lebih kepada tujuan eksperimental atau uji-coba sebuah perangkat yang diaplikasi pada kendaraan. Bisa juga untuk kepentingan membuat mock-up mobil.
Simulator high-level, sesuai namanya, dilengkapi berbagai perangkat pendukung baik hardware maupun software yang canggih, termasuk struktur komponennya. Simulator ini, juga dipakai di perguruan tinggi, lembaga pemerintah, pusat-pusat riset hingga produsen mobil. Salah satu contohnya adalah National Advanced Driving Simulator (NADS) yang ada di Universitas Iowa, AS. Simulator serupa juga terdapat di pusat riset Toyota di Eropa (lihat foto).
Bagaimana dengan pemilahan simulator oleh Straus (2005)? Straus membedakannya berdasarkan kriteria desain peruntukannya. Yang pertama, untuk keperluan riset, training dan screening. Khusus untuk riset, banyak dipakai untuk kepentingan investigasi dan eksperimental. Sedangkan untuk training, dipakai untuk kepentingan pembelajaran bagi calon pengemudi pemula atau siswa sekolah mengemudi.
Peruntukan ketiga, yakni screening, baru bbisa dipakai untuk pengujian. Itu pun dirancang dengan tujuan beragam. Misalnya untuk mendeteksi kondisi calon pengemudi yang tidak bisa dilakukan dengan cara manual. Contoh, bagaimana dampak perubahan cuaca, seperti kabut, terhadap reaksi seorang pengemudi. Tapi hasil pemanfaatannya, lagi-lagi untuk uji-coba dan studi. Jadi tegas, bukan untuk pengujian SIM.
Harus Dihentikan
Dengan kondisi yang diuraikan, apakah berarti teknologi tidak akan pernah mampu menggantikan pola atau cara manual konvensional dalam menguji calon pemegang SIM seperti yang dilakukan sekarang? Kita tentu tidak boleh bersikap pesimistis. Saat ini, Negara Bagian Florida di Amerika Serikat misalnya, terus melakukan mitigasi untuk mendapatkan formulasi bagi aplikasi driving simulator ini. Artinya, tetap ada upaya untuk terus menerus mencari solusi. Bagaimana pun, pemakaian simulator akan jauh menekan biaya serta potensi bahaya dibandingkan dengan cara konvensional.
Selain adanya perbedaan reaksi antara pemohon SIM yang mulai lanjut usia dan mereka yang berusia muda terhadap kemampuan reaksi, juga proses mengemudi melibatkan sangat banyak aspek. Salah satu yang saat ini sedang menjadi topik pembahasan para ahli transportasi, keselamatan lalu lintas dan kesehatan, yakni timbulnya dampak Simulator Adaptation Syndrome atau juga dikenal dengan Cyberadaptation Syndrome.
Pemakaian simulator, ternyata menimbulkan simulator sickness yang antara lain ditandai dengan kepala pusing, disorientasi dan berbagai gangguan fisik maupun psikis lainnya. Semua ini terkait dengan banyak variable semisal berapa lebar layar display, frame rate pada gambar yang ditampilkan, resolusi gambar hingga waktu delay antara tayangan dan reaksi.
[caption id="attachment_205658" align="alignleft" width="300" caption="Simulator Toyota di Eropa yang mampu memberikan reaksi seperti vehicle dynamics. Digunakan untuk kepentingan riset. (foto: NewsPress)"]
Sungguh, banyak penjelasan yang tidak mungkin saya paparkan pada tulisan ini berkaitan dengan kontrovesri driving simulator dan simulator SIM Korlantas. Bukan sekadar kontroversi penanganan korupsi dalam proses pengadaannya. Tapi tak berlebihan menyebutkan, simulator SIM Korlantas adalah sebuah kontroversi bagi sistem lalulintasan yang dianut dunia. Istilahnya, apa kata dunia?
Sebagai pemerhati keselamatan lalu lintas, saya hanya ingin menitipkan pesan. Bahwa bila masyarakat transportasi dunia sudah meyakini bahwa teknologi simulator saat ini belum cukup sebagai sarana pengganti bagi pola pengujian langsung, maka kebijakan Polri melalui simulator SIM ini tentu akan mendatangkan dampak negatif. Saat ini, lebih dari 31 ribu nyawa manusia melayang setiap tahun akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Jangan berharap, angka itu akan mengalami penurunan bila calon pemegang SIM dinyatakan lulus hanya karena mereka piawai bermain video games. Karena itu, proyek ini harus dihentikan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H