Mudik lebaran, harus diakui menjadi fenomena tersendiri bagi Indonesia. Hampir dipastikan, tradisi mudik lebaran ini tak akan ditemui di negara lain di dunia. Namun seiring berlangsungnya tradisi ini dari tahun ke tahun, terselip pula tragedi yang sesungguhnya sangat tragis. Arus mudik, ternyata membawa dampak berupa jatuhnya korban tewas yang sia-sia akibat kecelakaan lalu lintas.
Menurut data sementara dari Posko Angkutan Lebaran Terpadu Kementerian Perhubungan hingga H+1 yang dirilis 1 September 2011, tercatat terjadi 2.773 kecelakaan lalu lintas selama mudik lebaran. Sejumlah kecelakaan lalu lintas ini mengakibatkan 433 orang korban meninggal dunia dan 729 orang luka berat. Ini berarti pula, dari tahun ke tahun jumlah korban yang bergelimpangan di jalan terus meningkat dan nyaris tak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Kecuali, sekadar menjadi konsumsi berita media massa.
Sampai kemudian, terjadi kecelakaan fatal yang melibatkan penyanyi dangdut Saipul Jamil di ruas tol Cipularang. Sangat mudah dimengerti, sebagai seorang artis dan selebriti, kecelakaan yang merenggut nyawaVirginia Anggraeni ini menjadi perbincangan hangat di media sosial. Betapa tidak, dalam kecelakaan dimaksud, Virginia yang istri Saipul Jamil ini dikabarkan tewas di lokasi kejadian.
Sebagai pemerhati keselamatan di jalan raya, saya tergelitik untuk membahas tragedi ini. Bahwa apa yang dialami Saipul Jamil, sebenarnya merupakan peristiwa yang sudah berulang-ulang dan hampir terjadi setiap saat di berbagai ruas jalan di Indonesia. Hasilnya, Indonesia termasuk dalam daftar negara dengan angka kecelakaan di jalan yang tergolong tinggi.
Sebuah data yang dirilis WHO (World Health Organization) menyebutkan jumlah korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia pada tahun 2007 diestimasi mencapai angka lebih dari 37 ribu jiwa.Kendatimenurut laporan resmi yang dikeluarkan pemerintah, korban tewas pada tahun tersebut hanya sekitar 16.500 jiwa.
Terlepas dari angka-angka yang mestinya mengundang keprihatinan tersebut, saya menengarai setidaknya 3 (tiga) faktor utama yang menopang tingginya angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Yang pertama, terkait penegakan hukum di jalan dan yang kedua adalah buruknya fasilitas dan sarana transportasi di Indonesia. Lalu yang ketiga, rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap kendaraan yang dimilikinya yang diperparah oleh minimnya kesadaran terhadap potensi bahaya di jalan. Dua unsur ini, pengetahuan dan kesadaran memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Faktor pertama dan kedua, tidak akan saya bahas karena terbesarnya merupakan domain pemerintah. Saya hanya akan fokus menelaah faktor ketiga karena ini berhubungan dengan soal edukasi masyarakat yang nota bene adalah pengguna jalan sekaligus konsumen dari kendaraan yang ditawarkan produsen.
Kembali ke soal tragedi yang dialami Saipul Jamil, dari foto mobil naas yang digunakan dan beredar di media sosial, jelas mobil dimaksud adalah Toyota Avanza yang tergolong katagori MPV. Dan dari gambar yang terbatas itu pula, saya berusaha mengidentifikasi bahwa jenisnya adalah Avanza tipe G bermesin 1.3 liter. Bila identifikasi saya ini benar, berarti mobil tersebut tergolong memiliki fitur keselamatan yang minim antara lain sistem remnya tidak dilengkapi perangkat ABS (Anti-lock Braking System).
Masih terkait dengan analisis foto kecelakaan dan penggalan berita yang beredar, korban tewas Virginia Anggraeni dinyatakan duduk tepat di belakang pengemudi. Penyebab korban tewas juga disebutkan akibat luka di bagian kepala. Tanpa mendahului penyelidikan (bila ada), saya menduga kuat korban di saat peristiwa terjadi tidak menggunakan seat belt. Secara umum, luka di kepala pada peristiwa kecelakaan mobil disebabkan terjadinya benturan dengan bagian mobil. Dan itu dipicu karena korban tidak terikat pada tempat duduknya akibat tidak menggunakan perangkat seat belt.
Pada foto yang beredar, bagian sisi kanan mobil juga terlihat ringsek parah. Perlu diketahui, permukaan tol Cipularang terbuat dari bahan semen yang sangat abrasive. Dan setiap jenis permukaan jalan, sangat berpengaruh pada dinamika kendaraan, khususnya pada situasi panik.
Saya mencoba membuat simulasi, Avanza (yang kabarnya dikemudikan Saipul Jamil sendiri) yang bergerak dari arah Bandung menuju Jakarta dengan kecepatan 100 km/jam. Secara keseluruhan, kontur jalan tol dari arah Bandung itu cenderung menurun termasuk di beberapa titik jalan yang menikung. Boleh jadi, sebuah keadaan tak terduga memaksa pengemudi melakukan pengereman mendadak (panic braking).
Apa yang terjadi? Pada kondisi normal, mobil yang melaju dengan kecepatan 100 km/jam, baru bisa berhenti pada jarak 70 – 80 meter ke depan. Ini setara dengan waktu sekitar 3 detik dari awal kejadian yang menuntut si pengemudi harus menghentikan mobilnya.
Dalam situasi arus balik seperti sekarang, hampir mustahil untuk bisa membuat jarak aman 70 – 80 meter dengan kendaraan di depan. Walhasil, jarak yang rapat inilah yang memaksa si pengemudi melakukan pengereman mendadak.
Kita hubungkan scenario ini dengan spesifikasi mobil yang digunakan. Toyota Avanza tergolong MPV yang sebenarnya berbasis mobil niaga. Ciri khas jenis mobil ini, yakni ground clearance yang tinggi serta roof atau atap yang jangkung. Sesuai spesifikasi standarnya, Avanza memiliki ketinggian total 1.695 mm atau lebih jangkung 235 mm dibandingkan sedan Toyota Vios.
Mobil yang tinggi, memiliki kecenderungan terguling (bodyroll) yang juga tinggi. Efek bodyroll ini, sangat terasa pengaruhnya ketika terjadi momen untuk menahan lajunya seketika melalui tindakan pengereman mendadak. Permukaan jalan yang abrasive, dalam kondisi tertentu member keuntungan karena akan memperpendek jarak berhenti. Tapi pada pengereman mendadak, justru terjadi hambatan yang sangat kuat pada pergerakan roda.
Bila benar jenis mobil Saipul Jamil adalah Avanza 1.3 liter yang tidak dilengkapi ABS, sangat mudah dimengerti bila mobil dimaksud akan berjumpalitan. Penyebabnya, tahanan yang kuat pada putaran roda yang terkunci (lock) dan terjadi tiba-tiba ditambah bobot bagian atap yang tinggi, menghasilkan efek seperti ketapel yang melontarkan kerikil.
Permukaan jalan tol yang terbuat dari semen, juga sangat mungkin menghasilkan efek traksi yang berbeda pada roda di kedua sisi kendaraan. Bila salah satu sisi permukaan semen lebih halus dan licin, pengereman mendadak juga akan berakibat berubahnya arah kendaraan. Daya dorong yang tersisa cukup besar – entah oleh laju mobil maupun oleh permukaan jalan yang menurun – menghasilkan gaya lateral. Pada kondisi ini, kemampuan olah kemudi hanya memberikan kontribusi yang kecil untuk melakukan recovery atau upaya untuk menormalkan posisi kendaraan.
Dari sudut pandang road safety yang memperhatikan acuan teknis kendaraan, sebuah MPV seperti Avanza sesungguhnya tidak didedikasikan oleh produsennya - dalam hal ini Toyota - sebagai kuda pacu. Sesuai gendernya, MPV dirancang untuk family car atau mobil keluarga yang pada hakekatnya mengedepankan kenyamanan (comfort) dan volume kabin (daya angkut) yang baik. Bahkan beberapa produsen mobil yang juga memproduksi MPV seperti Chrysler, menambahkan fitur peringatan bila pengemudi memacu melebihi batas kecepatan aman. Umumnya, peranti peringatan ini akan mengeluarkan bunyi di saat mobil melaju di atas kecepatan 80 km/jam.
Namun, minimnya pemahaman terhadap fungsi sebuah mobil sekaligus rendahnya kesadaran terhadap keselamatan, menyodorkan fenomena lain. Bukan pemandangan aneh, pengguna jalan tol disodori atraksi pengemudi mobil jenis MPV ini melaju dengan kencang bagaikan stuntman atau pembalap di sirkuit. Mereka berakselerasi, meliuk di antara laju mobil lain, tanpa sama sekali memperhitungkan bila kondisi darurat menghadang tiba-tiba.
Avanza sendiri, memang memiliki performa yang tergolong bagus. Tipe G yang dilengkapi mesin 1.3 liter, memproduksi tenaga sekitar 92 hp pada 6.000 rpm. Dengan luaran tenaga seperti itu, Avanza tipe ini memiliki perbandingan tenaga – bobot (power to weight ratio) sekitar1 hp berbanding 11 kg bobotnya. Bahkan Avanza bermesin 1.5 liter yang menghasilkan tenaga sekitar 110 hp/6000 rpm, memiliki perbandingan tenaga dengan bobot sekitar 1 : 9.8.
Sekarang, bandingkan dengan tingkat keamanan Toyota Vios yang dipersenjatai mesin dengan luaran tenaga yang sama dengan yang dipakai Avanza. Perbandingan tenaga dengan bobot Vios, terpaut sangat tipis dengan Avanza sehingga bila diadu untuk berpacu di jalan lurus, hasilnya akan berimbang.
Tapi yang perlu diperhatikan, kestabilan Vios tentu jauh lebih baik dari Avanza yang jelas lebih jangkung. Jarak tapakan roda Vios juga jauh lebih lebar ketimbang Avanza. Belum lagi bila bicara tentang fitur keselamatan atau safety device. Toyota Vios dilengkapi active safety yang lebih kompl;it. Salah satunya, rem ABS yang juga mulai diaplikasi pada Avanza 1.5 liter.
Namun, pada Vios disempurnakan lagi dengan peranti EBD (Electronic Braking Distribution) yang berfungsi membagi tekanan rem yang bisa berbeda di tiap roda sesuai kebutuhan. Dengan adanya EBD, kemungkinan mobil beruba arah pada saat terjadi pengereman mendadak bisa dieleminir. Fitur tambahan lainnya yakni BA (Brake Assit). Peranti ini, berfungsi mengatur tekanan pedal rem untuk menghindari cengkraman rem yang melebihi kebutuhan.
Pada akhirnya, dengan memahami spesifikasi dan karakter mobil yang Anda gunakan, sebuah kejadian fatal bisa dihindari. Tragedi yang menimpa Saipul Jamil, bisa mengingatkan kealpaan kita tentang bahaya di jalan yang mengancam setiap saat. Dan atas izin Allah, hanya kita pulalah yang menjadi kunci utama menepis bahaya itu. Be smart before you drive, Smart Drive.
@karman_mustamin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H