Sudah hampir sepekan, tak ada kabar berita dari Tertib Manalu. Padahal biasanya, dia rajin berkunjung. Minimal mengirim pesan singkat sms. Ah, biarlah. Mungkin dia sedang asyik menikmati mobil barunya.
Aku pun mengemasi peralatan tulis dan segala rupa yang berserak di atas meja, bersiap-siap meninggalkan kantor. Baco Makkatutu, sopir yang sudah lama mengabdi di keluarga kami, sudah berdiri di depan pintu. Menunggu aku mengulurkan tas kerja, lap top dan barang bawaan lainnya untuk diantar ke mobil.
Aku baru ingin beranjak dari kursi, ketika bayangan sosok yang sangat aku kenal berdiri menghadang di ambang pintu. Tertib Manalu! “Ah, umur panjang nih orang,” gumamku.
“Sudah mau pulang? Kebetulan, kau ikut mobil aku lah,” katanya, tanpa memberi aku kesempatan menjawab. “Pak Baco, kau antarlah barang-barang Bapak pulang. Bilang sama nyonya, Bapak pulang sama Pak Tertib nanti,” ujarnya ditujukan kepada Baco Makkatutu. Aku pun mengangguk kecil ke arah Baco, isyarat setuju.
“Nanti dululah kita pulangnya. Aku mau cerita sedikit,” katanya lagi, sambil tangannya meraih kursi dan langsung mengambil posisi duduk tepat di hadapanku.
“Dapat mobil baru dari kantor sih enak. Tapi biasa, demi penghematan, kantor tetap membebankanbiaya bahan bakar kepada yang memakai mobil itu.” Tertib mulai membuka percakapan.Dan aku pun menyandarkan punggung, sekadar memberi atensi terhadap percakapan Tertib, kawan yang aku kenal selama ini selalu bicara blak-blakan.
“Inilah masalahnya. Dulu, minibus aku yang reot itu kan mesinnya cuma 1000 cc. Beli bensin pun jadinya nggak berat. Tapi setelah pakai sedan ini, wah terasa juga. Ukuran mesinnya kan hampir satu setengah kali lipat dari minibus itu,” ujar Tertib mencoba membandingkan.
“Maksudnya, sedan baru ini boros bahan bakar?” aku mencoba menanggapi.
“Iyalah. Kalau dulu, aku beli bensin premium 50 ribu, cukup untuk dua hari. Sekarang, dengan duit segitu paling banter sehari,” jelasnya. “Gak enaknya pula, sudah boros, mesinnya pun terasa ngelitik kalau pedal gas ditekan mendadak,” papar Tertib lagi.
Tanpa sadar, aku menyorongkan tubuh ke depan. Kedua lengan terlipat dan betelekan di atas meja. “Pak Tertib menggunakan premium juga untuk sedan baru itu?” sergahku.
“Heh, apa yang salah? Meskipun sedan itu mulus, tapi jangan manja dong. Masak aku harus beli jenis bahan bakar yang lebih mahal untuk dia?” katanya dengan gerakan kedua tapak tangan menengadah.
Sejenak aku terdiam. Kembali besandar sembari mengisap rokok dalam-dalam.
“Begini. Sedan baru yang kau peroleh dari kantor itu, punya karakter mesin yang berbeda dengan minibus yang dulu.” Aku mulai membuka percakapan, berharap Tertib Manalu bisa memahami.
“Ah, emangnya mesin juga punya karakter? Kayak mahluk hidup saja.” Tertib menanggapi sambil bibirnya menyunggingkan senyum.
[caption id="attachment_280563" align="alignleft" width="300" caption="Mesin menentukan karakter. Foto: Volvo-media (koleksi pribadi)"]
“Maksud kau mau mengejek ya? Ya…, ya…, aku mengerti. Minibus aku dulu, paling laju cuma 70 kilometer per jam. Tapi mobil ini, dibawa 120 kilometer per jam gampang sekali,” celoteh Tertib tanpa menghiraukan bila sebenarnya kalimat yang aku sampaikan belum tuntas.
“Tunggu dulu Pak Tertib. Dengan mesin yang relatif kecil itu, para insinyur dan ahli di pabrikan mobil tentu punya cara untuk mendapatkan tenaga yang besar. Nah, salah satu yang paling mudah, dengan menaikkan tekanan atau kompresi ruang bakar mesin, Ini yang diaplikasi pada mobil sedan baru Pak Tertib itu,” kataku, berusaha menjelaskan seruntut mungkin.
“Lha, lantas apa hubungannya dengan bensin premium tadi?” Tertib mulai protes lagi.
“Di soal bahan bakar, ada yang namanya oktan. Ini yang menentukan derajat pembakaran setiap jenis bahan bakar. Bahan bakar dengan oktan rendah seperti Premium, punya sifat lebih cepat terbakar. Sifat ini, tidak selaras dengan karakter mesin mobil sedan kau yang waktu pembakaranya lebih lambat.”
“Terus…, terus…???” giliran Tertib menyorongkan badan ke depan.
“Terus, karena bahan bakar lebih cepat terbakar, sementara proses kompresi mesin lebih lambat, maka terjadi ledakan di ruang silinder sesaat sebelum proses kompresi. Inilah yang kita rasakan atau terdengar di kuping sebagai bunyi ngelitik. Akibatnya lagi, efektivitas tenaga yang dihasilkan oleh pembakaran tadi tidak maksimal."
Tertib Manalu terdiam. Tampaknya, dia berusaha merangkai penjelasan yang aku paparkan. Kening Tertib masih berkerut, ketika aku kembali melanjutkan. “Nah, karena tenaga yang dihasilkan tadi tidak optimal, maka dampaknya konsumsi bahan bakar juga menjadi lebih boros,” jelasku.
“Waduh, rumit juga ya. Tapi aku sudah mulai mengerti, meskipun sedikit-sedikit,” ujar Tertib, seraya melirik ke jam dinding yang tergantung di belakangku. “Sudah sore, ayo kita pulang. Besok aku akan coba beli bensin yang oktannya lebih tinggi,” kata Tertib lagi, seraya beranjak dari duduknya. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H